BANYUMAS – Gelaran Bisik Serayu Festival 2024 kembali menghadirkan perayaan budaya dan seni yang penuh makna di Desa Kaliori, Kalibagor, Banyumas. Bertemakan “Budaya di Sudut Serayu”, festival ini berlangsung selama tiga hari, dari 6 hingga 8 September 2024, dengan menampilkan ragam pertunjukan seni yang berakar pada tradisi lokal sekaligus menyuarakan kecemasan akan perubahan lingkungan dan budaya.
Malam Minggu (7/9) di tepi Sungai Serayu menjadi salah satu momen paling berkesan dalam festival ini. Rianto, maestro lengger Banyumas, yang juga merupakan inisiator festival, secara spontan mempersembahkan tari kontemporer di tengah-tengah penampilan Rodrigo Parejo, musisi dan komposer asal Spanyol. Kolaborasi tanpa skenario ini sukses memukau penonton, yang turut merayakan ulang tahun sang maestro dengan meriah. Rianto, yang dikenal dengan kemampuannya menggabungkan tradisi dan modernitas dalam seni tari, lahir di Desa Kaliori dan menjadikan desa ini sebagai pusat aktivitasnya.
Pada malam yang sama, Bisik Serayu Festival menghadirkan penampilan kolaboratif antara musisi lokal dan internasional, termasuk Sean Hayward, Mukhlis Anton Nugroho, dan Dolly Nofer. Mereka menyajikan musik bertema sungai dan harmoni alam, yang kemudian dilanjutkan dengan lagu-lagu bertemakan sungai dari Melati Ayumi & Friends. Salah satu momen unik adalah penampilan Duo Nayeche asal Meksiko, yang menyuguhkan lagu tradisional Meksiko dan turut meramaikan festival.
Yang tak kalah menarik adalah tari topeng dari Indramayu. Penampilan ini diawali oleh penari cilik dan remaja, dilanjutkan oleh maestro tari topeng, Wangi Indriya dari Jawa Barat. Penonton terkesima melihat bagaimana seni tari topeng dipentaskan dengan kekuatan ekspresi dan gerak, membawa suasana penuh energi ke tengah gelanggang pertunjukan yang berkonsep “mandala” di Joglo Gayatri, Rianto Dance Studio. Tak hanya seniman lokal yang tampil, penari dari luar negeri, seperti Miray Kawashima dan Yuka Takahashi dari Jepang, serta Mila Rosinta dari Yogyakarta, turut memukau penonton dengan tarian Tajidor Kahot dari tradisi Sunda.
Selain pagelaran seni, Bisik Serayu Festival 2024 mengusung misi yang lebih besar, yaitu membangkitkan kesadaran akan pentingnya ekosistem budaya yang terhubung dengan alam. Rianto menekankan bahwa filosofi tari lengger Banyumas sangat erat kaitannya dengan alam, khususnya air dan sungai. Ia menjelaskan, “Spiritualitas dan inspirasi lengger bermula dari medium air, sungai, dan habitat di dalamnya.” Karya seni lengger Banyumas, seperti kunclungan—permainan air yang menghasilkan bunyi menyerupai ketukan gendang—merupakan salah satu contoh seni yang lahir dari interaksi manusia dengan sungai.
Melalui Bisik Serayu Festival 2024, Rianto berharap dapat membangun kembali ekosistem budaya yang harmonis dan menyatu dengan alam. Seni tidak hanya dilihat sebagai produk yang mati, tetapi harus memiliki jiwa yang berasal dari keselarasan dengan lingkungan. Oleh karena itu, salah satu agenda penting dalam festival ini adalah koreografi kunclungan yang ditampilkan di atas panggung dengan konsep mandala.
Selain pertunjukan seni, festival ini juga menyajikan Diskusi Ngudarasa Budaya dan Ekosistem Sungai pada Sabtu sore (7/9). Diskusi tersebut menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Elisabeth D. Inandiak, seorang sastrawati asal Prancis yang telah mendalami kesusastraan Jawa selama lebih dari 30 tahun, Misbahuddin (Daeng Bilok), seniman dari Selayar, Sulawesi Selatan, serta Ragil dari Desa Kaliori dan Titi Ngudiati dari Dompet Duafa. Diskusi ini membahas keterkaitan antara budaya dan ekosistem sungai, serta bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi kehidupan dan budaya masyarakat di sekitar Sungai Serayu.
Salah satu peserta diskusi, Gatot (55), dari Pokmaswas Jaga Kali Sokaraja, menyoroti pentingnya kegiatan seperti Bisik Serayu Festival untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan sungai. “Festival ini menarik karena mengangkat kondisi terkini Sungai Serayu. Sungai bagi masyarakat Banyumas sudah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan.
Menurunnya kualitas air sungai Serayu berdampak pada penghidupan warga karena banyak ikan yang mati,” ujar Gatot, yang juga adalah seorang pemancing setempat. Ia berharap, festival ini dapat terus berlanjut dan mendorong lebih banyak orang untuk peduli terhadap lingkungan, terutama dalam menjaga kelestarian sungai.
Rianto juga menceritakan bagaimana selama persiapan festival, ia melibatkan anak-anak lokal untuk membersihkan lokasi acara dan Sungai Serayu. “Saya mengajak anak-anak sekitar sini untuk ikut memunguti sampah. Setelahnya, beberapa dari mereka langsung terjun ke air untuk membersihkan sungai,” ungkap Rianto. Ia mengakui bahwa perubahan zaman telah menjauhkan anak-anak dari alam, yang kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget daripada berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Bisik Serayu Festival 2024 tidak hanya menjadi perayaan seni, tetapi juga menjadi ajang untuk menghidupkan kembali kesadaran publik akan pentingnya menjaga keseimbangan antara budaya dan alam. Mimpi Rianto untuk kembali menghidupkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga ekosistem sungai menjadi pusat dari festival ini. Sungai Serayu, yang mengalir dari pegunungan Dieng hingga bermuara di Samudra Hindia, telah menjadi saksi bisu perjalanan budaya dan kehidupan masyarakat Banyumas selama berabad-abad. Festival ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam membangun kembali hubungan harmonis antara manusia, seni, dan alam, khususnya di kawasan Banyumas dan daerah aliran Sungai Serayu.