Lelaki di Atas Bus Itu – Mengenang KHM Hidayat

Suatu hari di tahun 2005, penulis menempuh perjalanan Purwokerto-Bumiayu menggunakan bus angkutan umum. Dari mulai naik hingga melintas Ajibarang aku berdiri dekat pintu lantaran tempat duduk penuh.

Beberapa saat, selepas daerah Pekuncen, aku menengok ke belakang. Tampak sosok lelaki berkopiah putih, bersarung dan jas abu-abu kehitaman. Kulihat lelaki berkopiah putih itu beringsut dan bangkit dari tempat duduknya.

Setelah berdiri tangan kanan lelaki itu memegang erat sandaran kursi. Menahan goncangan bus yang sesekali mengerem dan berhenti mendadak menaik-turunkan penumpang. Sementara tangan satunya lagi mendekap sebuah tas di atas dadanya.

Aku perlahan bergerak melangkah ke arah kursi yang baru saja ditinggalkannya. Aku sempat terpana beberapa saat. Sejurus kemudian, saya teringat wajah lelaki dengan sorban hijau terselempang di bahunya. Ya, aku mengenali sosok yang satu ini. Serta merta aku menjabat dan mencium tangannya.

“Kiai, badhe tindak pundi?” tanyaku seketika.
“Badhe ngaos,” jawab lelaki itu singkat.
“Ngaos wonten pundi?” tanyaku penasaran.
“Wonten mriku ngajeng. Sekedap malih kulo mandhap,” jelasnya.

Lalu lelaki berkopiah putih itu balik bertanya, “Lha, slirane badhe pundi?”
“Tuwi lare wonten Al-Hikmah Benda…”
“Pondokipun Kiai Masruri?”
“Inggih, leres,” jawabku.
“Titip salam nggih kagem Kiai Masruri,” lelaki itu sembari berkemas dan bersiap untuk turun.
“Insya Allah, Kiai!” jawabku mantap.

Fragmen di atas adalah pertemuan terduga antara aku dengan KHM Hidayat atau akrab disapa Kiai Dayat Sokaraja.

Selepas beliau turun, masih kerkecamuk rasa penasaran di benakku. Betapa tidak? Sosok nomor satu di jajaran NU menempuh perjalanan naik bus umum seorang diri, tanpa ajudan atau pendamping. Ya, aku ingat betul. Kala itu beliau adalah Rois Syuriah PCNU Kabupaten Banyumas.

Untuk sekian lama,
Pertemuan itu menjadi semacam misteri bagiku. Di sisi lain, aku melihat secara nyata dengan mata kepala sendiri sifat ke-sahaja-an pada dirinya.

Teka-teki perjumpaanku dengan Kiai Dayat baru terjawab 15 tahun kemudian. Tempo hari, tepatnya 6 Oktober 2020, aku sengaja sowan ke salah satu putera beliau di Sokaraja Lor. Sore itu Ustaz Rozak menemaniku berkunjung ke kediaman Gus Fuad, putra kedua almarhum Kiai Dayat.

Kami berdua diterima dengan sukacita. Dan, pembicaraan pun berlangsung santai, sesekali diselingi tawa. Di sela-sela perbincangan, aku menyampaikan perihal perjumpaanku di atas bus dengan Kiai Dayat 15 tahun silam.

“Nggih, leres. Abah riumiyin asring ngaos Selapanan wonten Patuguran. Ya, betul. Ayah dulu mengisi pengajian Selapanan di Patuguran,” kata Gus Fuad.

“Kalau bulan Ramadhan beliau mengaji di Losari,” sela Ustaz Rozak.

Selain momentum pertemuan di atas, ada hal lain yang kuingat dari sosok Kiai Dayat. Dalam beberapa forum resmi ke-NU-an, beberapa kali aku mengamati beliau menyampaikan pidato dalam bahasa Arab.

Ya, masih kuingat betul. Saat itu KH Ilyas Ruchiat Cipasung, Rois Syuriah PBNU, hendak mengisi pengajian haul di Pesantren Al-Ikhsan Beji Kedungbanteng.

Sebetulnya, pengajian haul diselenggarakan pada pagi hari. Malam sebelumnys, PCNU Kabupaten Banyumas sengaja mengumpul jajaran Pengurus Cabang untuk mendapatkan Pengarahan Umum dari KH Ilyas Ruchiat.

Pada acara itu, aku melihat Kiai Dayat menyampaikan sambutan dalam bahasa Arab. Beliau membaca kertas berisi tulisan tangan yang dikeluarkan dari saku jas. Selesai dibaca, kertas itu dimasukkan kembali ke dalam saku bajunya. Kalau saja waktu itu aku sudah ada HP, kupastikan aku segera merapat ke Kiai Dayat untuk memotret kertas catatan beliau dengan camera HP. Ya, mengabadikan naskah isi pidato yang baru saja dibacanya.

Dalam acara ke-NU-an lainnya, aku melihat beliau berpidato dalam bahasa Arab. Satu pertanyaanku, adakah naskah-naskah pidato tulisan tangan beliau terdokumentasi? Adakah pihak keluarga, atau PCNU Kabupaten Banyumas, men-dokumen-tasikan-nya? Ataukah naskah-naskah itu terserak-tercecer dan entah di mana rimbanya?
Inikah pertanyaan yang masih bergelayut di benakku hingga kini. (*)

Purwokerto, 07 Oktober 2020

Oleh: Akhmad Saefudin SS ME
Penulis Buku 17 Ulama Banyumas

Beri komentar :
Share Yuk !