Memupuk Nilai Pancasila ditengah Keberagaman Bangsa

*) Gayuh Ilham Widadi, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Purwokerto – Indonesia adalah negara dengan segudang kekayaan alam melimpah. Limpahan aset dari sajian geografis seperti anugerah tanah yang begitu subur untuk bercocok tanam, potensi kekayaan laut beserta isinya menjadi bukti nyata bahwa negara ini penuh dengan keberanekaragaman.

Bentangan negara Indonesia yang berbentuk kepulauan dari sabang sampai merauke adalah murni pemberian Tuhan yang patut dijaga bersama. Manifestasi betapa kayanya negara ini membuat perumpamaan bahwa Indonesia adalah kepingan surga yang jatuh ke bumi.

Dibalik kekayaan dari alam, aset tidak kalah penting yang mentereng dari negara ini adalah tentang keberagaman masyarakat. Perbedaan suku, budaya, adat istiadat, dan kepercayaan jadi simbol kesekian yang menandakan bahwa Indonesia punya ragam keunikan tidak hanya dari karunia alam, tapi dari segi kehidupan sosial budaya pun tidak kalah demikian.

Sehingga kesemua itu patut untuk dijaga dan dilestarikan keberadannya. Termasuk keberagaman sosial budaya yang memang kita akui Indonesia bersama sudah ada sejak dahulu kala dan sebagai simbol bahwa Indonesia hidup dalam wadah keberagaman sosial.

Menengok hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, negara Indonesia mempunyai sekitar 1.340 suku bangsa. Suku jawa jadi kelompok paling dominan dari suku lain di berbagai daerah dengan jumlah 41%. Keuntungan bonus demografi yang mulai melanda tahun 2030 -2040 terhadap jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) juga tidak menutup kemungkinan menambah dinamika penganut keberagaman semakin besar.

Sehingga pada prosesnya, bonus demografi demikian ikut menambah potensi pelestarian sosial budaya dari segi penganutnya (sumber daya manusia).

Atas ragam keistimewaan dalam lingkup kehidupan pluralisme, dalam konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tahun 1955 silam. Oleh peserta, Indonesia dijadikan sebagai negara refernsi utama dalam menejemen keberagaman sosial budaya yang meliputi jenis keberagaman suku, ras, agama, maupun kepercayaan. Walhasil, citra keberagaman yang kita miliki menjadi bahan percontohan dalam membangun kesatuan dalam keberagaman.

Namu satu hal yang juga perlu diketahui bersama ketika keberagaman saling berbaur di masyarakat, bukan tidak mungkin resiko terjadinya gesekan antargolongan sulit terhindarkan apabila tidak adanya tindak preventif.

Memang perbedaan adalah sebuah keunikan, namun juga bentuk tantangan bagi seluruh insan bangsa dalam menwujudkan prinsip kesatuan dan persatuan nasional seperti cita-cita luhur Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia.

Sejalan dengan resiko tersebut, kasus paling disoroti dan sering terjadi terhadap kurangnya sikap saling menghargai satu sama lain sering menimpa aspek kepercayaan (agama). Setara Institute mencatat kasus intoleransi agama sering terjadi selama 12 tahun terakhir dengan kalkulasi peristiwa mencapai angka 2.400 kasus. Pelanggaran kebebasan beagama dan menganut kepercayaan didominasi pada gangguang terhadap pelaksanaan ibadah.

Sementara itu, kasus lain yang berlatarbelakang ketidakadilan terhadap kehidupan suku, ras, dan golongan juga sering menimpa. Salah satunya adalah terkait kasus rasisme yang menimpa mahasiswa papua yang bermukim di Surabaya pada 17 Agustus 2019.

Demonstrasi warga Papua di bumi cendrawasih pun turut bergeming tajam guna menuntut pengungkapan kasus secara transparan.

Laman BBC Indonesia memberitakan bahwa saat demonstrasi tersebut menyebabkan dua kubu warga (warga lokal papua) dan kelompok pendatang (Paguyuban nusantara) pecah. Perusahan fasilitas umum, penjarahan toko, hingga pembakaran gedung terjadi di Manokwari, Sorong, hingga Fakfak.

Kedua kasus tersebut niscaya menjadi sedikit bukti bahwa Indonesia sangat rawan terjadi konfilk antargolongan dan kepercayaan. Data milik Setara Institute jadi bukti kuat bahwa tindakan penanggulangan gesekan masyarakat masih perlu untuk digaungkan lebih masif lagi. Konflik kecil lambat laun bisa melebar sebagai cikal bakal konflik horisontal.

Terlebih ditambah pada kehidupan era modern ini, peran media sosial juga perlu diwaspadai karena maraknya sebaran berita bohong yang acapkali bisa menjadi pemicu terjadinya pergolakan sebab dari provokasi yang tidak bertanggung jawab.

Asumsinya, tantangan nyata bangsa Indonesia bukan lagi melawan kelompok penjajah atau pemberontak, namun tantangan tersebut ialah bagaimana cara merawat kebergaman baik dari segi kesukuan, agam, ras, antargolongan dalam meneguhkan rasa ke-Indonesiaan seutuhnya.

Pancasila Jadi Solusi

Layaknya harapan membangun sebuah bangunan agar berdiri kokoh agar nantinya bisa kuat menahan terpaan angin dan keadaan, semestinya haruslah diawali dengan mebuat pondasi yang kuat dan kokoh pula. Tak ayal jika dalam hal ini, Pancasila jadi fondasi bangsa Indonesia dalam tujaun mulia merekatkan keberagaman menjadi satu kesatuan dalam bingkai kebhinekaan.

Pancasila bukanlah suatu ideologi tanpa tujuan. Pancasila yang disususun oleh sesepuh pendiri bangsa memiliki pandangan hidup begitu kuat. Pidato Ir, Soekarno dalam agenda sidang BPUPKI 1Juni 1945 mengemukakan bahwa esensi pancasila merupakan philosofische grondslag yang memiliki nilai fundamental, serta bercita-cita membangun persatuan bangsa dibawah nilai falsafah luhur sila pancasila.

Yudi Latif (2011) pernah mengungkapkan bahwa mempersatukan masyarakat Indonesia yang plural tidak semudah membalikan telapak tangan. Menurutnya butuh pembentukan dan penguatan National Building yang mana adalah agenda vital yang mutlak dibutuhkan dan digaungkan sepanjang waktu. Pemilihan pancasila sebagai ideologi paten adalah pilihan tepat. Sebab, dengan seperangkat ide serta gagasan yang difungsikan menjadi alat integrasi nasional.

Proses menyemai dan mengamalkan nilai-nilai pancasila haruslah dilakukan secara berkesinambungan. Pohon pancasila harus tertanam erat di atas tanah masyarakat Indonesia secara paten. Sehingga pancasila di kemudian waktu bisa menjadi pohon rindang yang bisa menjadi peneduh ketika panas intoleransi begitu terik menyinari.

Sikap paling penting lainnya adalah dengan menjunjung tinggi kebiasaan saling menghargai. Memulai niat dari hal kecil di daerah tempat tinggal seperti turut serta menjaga kedamaian lingkungan, membantu tetangga ketika mengalami kesusahan tanpa memandang asal-usul jadi semacam cara sederhana yang mampu menyemai benih kebersamaaan lebih banyak lagi.

Menumbuhkan sikap saling toleran terhadap suatu perbedaan juga patut diperhatikan, sebab kunci agar keberagaman dalam masyarakat tidak menimbulkan gejolak perpecahan adalah sikap masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi.

Membina identitas bangsa berpedoman pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika semestinya jadi keharusan bersama. Menjaga, menghormati, dan melestarikan perbedaan adalah satu sisi penting yang menjadi lentera kehidupan bangsa. Saling menghargai keberagaman akan serta menumbuhkan kesadaran untuk memebersamai keadaan secara utuh sebagai bagian penting merajut persatuan di tengah kebhinekaan.

Sekali lagi, suatu keberagaman bukanlah tantangan menakutkan, melainkan takdir bangsa yang harus dirangkul. Segala perbedaan tersebut haruslah dikelola dengan arif dan bijaksana.

Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah penting untuk saling bahu-membahu menjaga ketentraman sosial agar dijauhkan dari marabahaya perselisihan, konflik, kekerasan akibat dampak adanya ketidakharmonisan dari adanya keberagaman.(*)

Beri komentar :
Share Yuk !