Saatnya Bangkit Lawan Radikalisme dan Perkuat Persatuan Bangsa

PURWOKERTO – Ancaman terhadap radikalisme dan terorisme harus diwaspadai. Hal itu menjadi tanggungjawab bersama untuk menjaga kedamaian dan ketentraman  serta keutuhan NKRI.

Waspada terhadap radikalisme ini termasuk dengan mencegah munculnya gerakan atau kelompok yang mengajarkan ekslusifisme, intoleran, hingga anti terhadap pemerintah yang sah dan anti Pancasila.

Hal itu dikemukakan oleh Brigjen Pol Akhmad Nurwakhid selaku Direktur Pencegahan BNPT RI, dalam diskusi lawan Radikalisme di Advocafe, Jumat (4/6).

Dalam kesempatan itu pihaknya mengungkapkan, BNPT merupakan Badan non kementrian dibawah presiden yang bertugas mengkoordinasikan pencegahan radikalisme.

“Ayuk bangkit lawan radikalisme, Ini ancaman nyata, dan menjadikan konflik di sejumlah negara, ” terangnya.

“Ayuk bangkit lawan radikalisme,
Kami sudah lakukan riset, pola terjadinya konflik di negara-negara muslim, didahului oleh faham radikalisme. Kemudian Berkolaborasi dengan anti pemerintah lalu masuk intervensi asing, seperti di Suriah, Afganistan, Irak, Somalia, Nigeria,” ujarnya menambahkan.

Dan hal itu juga sudah diterapkan di Indonesia sejak Arab spring 2011.
Radikalisme adalah faham yg menjiwai semua aksi terorisme. Semua teroris berpaham radikal, meskipun tidak sumua, tapi minimal intoleran dan eksklusif.

Jika adang seolah-olah baik dan  pro NKRI, yakinlah mereka sedang lakukan siasat. Untuk sembunyikan jati diri.

Paham takfiri, akan mengkafirkan yang beda kelompok. Barang siapa yg tak menerapkan hukum Alloh maka dianggap kafir.

Nah ini tugas ulama untuk menjelaskan tafsir tersebut agar tidak  berlebihan dan menjurus pada radikalisme.

Indonesia punya potensial konflik terbesar d Dunia. Eropa hanya dua etnis, pecah jadi 27 negara. Arab satu suku jadi 22 negara.

Indonesia punya 1300 lebih suku etnis di 17 ribu pulau. Aliran juga banyak ada ribuan. Semua disatukan dalam NKRI.

Kenapa belum terjadi konflik, padahal 2017 indek radikalisme cukup tinggi, hingga 55,4 persen. Indikator anti pemerintah diantaranya, sikap intoleran, takfiri, anti Pancasila.

Oposisi boleh, tapi yang bersifat chek and balance. Kritis yang solitif, konstruktif.

Sebagai upaya mengadu domba dan menciptakan kebencian terhadap pemerintah, mereka juga melakukan penyebaran konten konten hoax, rasis, da  ujaran kebencian melalui medsos.  Termasuk konten provokatif,  nyinyir dan fitnah.

Lebih jauh diungkapkan, gerakan radikalisme juga terkait dengan agenda politik kekuasaan yang mengatasnamakan agama. Dengan memanipulasi dan mendistorsi agama.

Yang tujuan akhirnya ingin mengganti ideologi negara menurut versi mereka.

Indonesia sebagai negara yang sudah memiliki konsensus bersama yakni Pancasila UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, maka haram hukumnya jika ada kelompok manapun yang ingin merubah ideologi bangsa.

Yang lebih beruntung, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa. Pendirinya adalah para tokoh ulama, tokoh nasional, pejuang, dan berbagai elemen yang dipimpin oleh bung Karno.

Pancasila terbukti sakti, karena sejak dekade orde Lama, sejak 1945- 1965 diuji dengan pemberontakan sebanyak 15 kali.

Mulai dari DITII, PRRI, Permesta, Republik Maluku Selatan, dan lainnya termasuk pemberontakan PKI Madiun tahun 1965.

Kemudian memasuki order Baru, diterbitkan UU Anti Subsversif ,  tidak ada pemberontakan hanya ada GAM.

Kemudian tahun 1970 pemimpin khilafatul muslimin mendirikan Darul IslamI atau NII di Lampung.

Tahun 79 melakukan teror dan berhasil ditangkap. Tahun 85 kembali muncul teror di Jawa Timur dan Candi Borobudur.

” Jadi kalo dilihat lebih jauh, pemimpin khilafatul muslimin adalah Residivis, “ungkapnya.

Pasca 1998 UU Anti Subversi dicabut, sehingga marak gerakan dari ideologi transnasional yang berkolaborasi dengan ideologi lokal DITII.

Kemudian pecah tahun 1993 pecah menjadi NII pimpinan Ajengan Masduki,  kemudian JI pimpinan Abu Bakar Ba’asyir dan Abdulah Sungkar.

Tokoh lain yakni Abdul Kadir Albaraja dengan Abu Bakar Ba’asyir juga mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia.

Pasca dicabut nya UU Anti Subversi , belum ada regulasi yang melarang semua yang bertentangan dengan Pancasila. 

Reformasi 98 untung saja tidak mencabut Tap MPRS/XV/1966. terkait larangan ideologi komunisme. Dan dikuatkan dengan UU no 27 tahun 1999 yang melarang propaganda penyebarluasan ideologi PKI.

Salah satu kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu budaya dan kearifan lokal silaturahmi dan gotong royong, dan Pancasila.

Nah salah satu target kelompok radikal yaitu menghancurkan kearifan lokal untuk mudah adudomba.

Semua itu adalah proxy untuk menghancurkan Indonesia. Contoh Ikhwanul Muslimin basisnya di London, Hizbut Tahrir Basisnya di Inggris, begitu juga dengan Teroris KKB basisnya juga di Inggris.

Untuk itu pihaknya juga berharap agar masyarakat sedini mungkin mampu mencegah munculnya radikalisme dengan memperkuat persatuan dan kesatuan.

Nanang Sugiri selaku Pendiri Yayasan Tri Bhakti Pratista ( TRIBHATA) yang juga penyelenggara diskusi mengungkapkan, hal ini sekaligus mensikapi intruksi presiden untuk waspada radikalisme.

Menurutnya jelang pemilu 2024 agama masih rawan dijadikan sebagai alat politik identitas.

Itu harus kita cegah, selanjutnya mendorong pemerintah untuk membuat regulasi untuk menjerat pelaku yang mengajarkan ideologi radikal yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.

Diskusi yang bertema “Melawan Kelompok Radikalisme Dalam Dinamika Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2024” dihadiri oleh Jajaran Forkompinda, para aktivis, mahasiswa dan masyarakat dan dibuka oleh Wakil Bupati Banyumas Sadewo Trilastiono.

Nara sumber lain yang hadir yakni KEN setiawan Nii crisis center. Weda Kupita SH MH akademisi Unsoed. Subagyo Spd ketua Komisi 2 DPRD Banyumas.  ( *)



Beri komentar :
Share Yuk !