FLPP Harus Pikirkan Sektor Penunjang, Potensi Timbulkan Urban Sprawl

JAKARTA – Program pelonggaran kredit fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dinilai belum tepat sasaran. Tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memiliki hunian. Tapi, juga harus memikirkan upaya membentuk lingkungan sosial serta membangun sarana transportasi untuk menghidupkan perekonomian setempat.

Apalagi, lokasi rumah bersubsidi berada jauh dari pusat kota. Tentu, akses masyarakat yang mayoritas adalah pekerja di kota semakin jauh. Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menuturkan, justru biaya transportasi yang membuat masyarakat semakin miskin. Misalnya, di Jabodetabek. 43 persen pendapatan habis untuk biaya transportasi.

Tak ayal, pekerja milenial semakin kesulitan untuk menyicil rumah. “Jadi kalau membangun perumahan, maka bangunlah perekonomian di daerah setempat. Jangan sekadar membangun rumah hanya untuk perkembangan kawasan sektor tertentu saja,” terang dosen Universitas Trisakti itu.

Butuh kerjasama antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Realestat Indonesia (REI), dan pemerintah daerah untuk memikirkan akses transportasinya. Jika tidak, makan program sejuta rumah bersubsidi tidak akan efektif. Percuma membangun dengan biaya APBN tapi yang menempati sedikit. Mengingat, jarak yang sangat jauh antara tempat kerja dan rumah. “Jadinya malah pekerja antar kota antar provinsi,” celetuk Yayat.

Sementara itu, pakar tata kota dan kebijakan publik Asnawi Manaf mengatakan, pemerintah harus lebih memperhatikan masyarakat yang berpenghasilan di bawah upah minimum. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Bank Dunia, sebanyak 60 persen keluarga di Indonesia yang berpenghasilan di bawah Rp 3 juta. Apalagi sejak 2010 hingga 2017 hanya 15 persen yang berstatus aparatur sipil negara yang menggunakan FLPP. Belum lagi pekerja swasta. Artinya, FLPP belum menyentuh masyarakat berpenghasilan rendah.

Asnawi menilai moda transportasi yang dibangun pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil. Alhasil, di sekitar jalur-jalur transportasi tersebut dimanfaatkan pemilik modal untuk membangun hunian strategis untuk masyarakat berpenghasilan menegah ke atas. “Dampaknya, meski nyicil rumah sudah ringan, tapi pengeluaran keluarga untuk biaya transportasi membengkak karena jauh ke tempat kerja,” terangnya.

Di sisi lain, Asnawi menyayangkan, selama ini pembangunan FLPP di pinggir kota yang hanya sepotong-potong. Membangun hanya per 30 unit per cluster. Alasannya, bisa saja pengembang memiliki modal kecil atau menghindari biaya membuat infrastruktur. Seperti jalan, taman bermain anak, dan ruang terbuka hijau. “Mereka tidak memikirkan itu. Hanya memenuhi kebutuhan masyarakat akan rumah tapi tidak membangun lingkungannya,” jelasnya.

Dampaknya, tidak ada sosialisasi yang antar warga yang baik. Masyarakat lama-kelamaan akan kehilangan yang namanya modal sosial. “Membangun tempat tinggal itu adalah membangun peradaban. Karena kita membangun generasi untuk 20 tahun ke depan. Lingkungan yang baik, maka akan menciptakan generasi yang baik pula,” urai Wakil Dekan Bidang Komunikasi Fakultas Teknik Undip itu. Harus memikirkan membentuk hubungan sosial antar warganya, membangun layanan kesehatan, dan menumbuhkan perekonomian.

Jika tidak diperhatikan, maka akan menimbulkan terjadinya urban sprawl. Fenomena pembangunan kota yang semakin jauh dari pusat pelayanan ke pinggiran kota, memakan lahan-lahan pedesaan yang tidak berkelanjutan. Akibatnya, biaya untuk pembangunan infrastruktur semakin mahal lantaran akses yang susah. (han)

Beri komentar :
Share Yuk !

Tinggalkan komentar