Legenda Cikal Bakal Dayeuhluhur (Habis): Perang Demang Bincarung Melawan Agung Wirasaba

Ki Gede Banyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan. Keduanya menyatakan Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan adalah isterinya Bagus Sukra.

Mendengar hal itu, Sultan Mandi Widjaya murka karena merasa telah dibohongi dan dihina oleh Adipati Wargautama I. Tanpa pikir panjang lalu diutuslah seorang gandek atau prajurit untuk membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.

Setelah Ki Banyureka dan anaknya mohon diri, Rara Sukartiyah dipanggil untuk dimintai keterangan. Rara Sukartiyah mengaku bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus Sukra, tetapi sejak pernikahan belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.

Baginda Sultan akhirnya sadar bahwa keputusan yang diambilnya sangat tergesa-gesa hingga kemudian diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan dilakukan oleh utusan pertama.

Sebelum menemui ajalnya Adipati Wargautama I sempat memberi pesan, agar orang-orang Banyumas sampai turun-temurun jangan bepergian di hari Sabtu Pahing, jangan makan daging angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang, karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka.

Adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dinikahkan dengan orang Toyareka. Pesan-pesan tersebut dijadikan prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun-temurun seluruh masyarakat Banyumas hingga sekarang.

Hubungan dengan Daya Luhur menurut Silsilahnya baik Trah Toyareka ataupun Trah Wirasaba mereka adalah sama-sama keturunan Banyak Cotro yang merupakan Raja Pasir Luhur. Banyak Cotro tiada lain merupakan kakak kandung dari Banyak Ngampar atau Gagak Ngampar Raja Daya Luhur.

Setelah tewasnya Wargo Utomo, Sultan Pajang akhirnya mengangkat Joko Kaiman sebagai Adipati Wirasaba.

Karena Joko Kaiman adalah Adipati yang paling terhormat diantara ke empat Adipati di Wirasaba dan masih memiliki hubungan darah, maka oleh orang Daya Luhur disebut Agung Wirasaba atau Wirasaba Ageung.

Pelarian Ki Demang Bincarung ke Daya Luhur diperkirakan pada masa Raja Arsagati dimana kekuasaan Daya Luhur masih dibantu oleh dua orang yaitu Ki Hadeg Cisagu dan Ki Hadeg Ciluhur yang dahulu juga sebagai pemanggku Daya Luhur sebelum Arsagati mandiri.

Terlepas dari latar belakang bagaimana versi terbunuhnya Adipati Wargo Utomo, Adipati Agung Wirasaba bermaksud meminta pertanggungjawaban dari Demang Bincarung terhadap segala fitnah yang dia lakukan terhadap mertuanya.

Mengetahui dirinya akan ditangkap, Demang Bincarung pergi dari Banyumas dan berbalik melakukan perlawanan. Ia melarikan diri dengan membawa Rara Sukartiyah ke pegunungan Dayaluhur kemudian membangun kubu pertahanan di Bojong Cilumping dengan membuat lubang parit pertahanan dan benteng dari tanah diantara sungai Cinila dan Cidayeuh.

Karena posisi Benteng milik Demang Bincarung cukup sulit, maka Agung Wirasaba menyuruh beberapa prajuritnya untuk melihat posisi medan perang dari puncak Gunung Undem yang lebih tinggi.

Pengepungan oleh Agung Wirasaba konon pada musim kemarau, sehingga Ki Demang Bincarung harus membuat sebuah kolam kecil untuk sumber mata air. Kolam tersebut airnya kadang tidak mencukupi untuk pasukan yang terkepung.

Sementara Rara Sukartiyah yang dikembalikan kepada Demang oleh Sultan, karena hidup rumah tangga dengan Demang Bincarung yang memang tidak dicintainya tidak bahagia ,apalagi dalam posisi pelarian mengalami banyak kesulitan hidup.

Bahkan untuk makanpun dia harus menumbuk sendiri padinya dan untuk minum saja susah, Rara Sukartiyah akhirnya ngambek “Pundung”.

Kemudian dalam satu kesempatan dengan diam-diam bersembunyi dalam rimbunan rumpun pohon langkap dia kabur dengan lelaki lain ke daerah Cilangkap Gunung Layang Galuh.

Demang Bincarung melakukan perlawanan dengan senjata Katapel Raksasa untuk melempar peluru berupa batu – batu besar dari arah Pasir Jegang. Batu-batu tersebut rata-rata jatuh di Punggung bukit Gunung Pabeasan sehingga Agung Wirasaba tidak bisa menyerang dari depan.

Sementara itu, Agung Wirasaba mengambil posisi di Gunung Bubut Desa Datar melakukan siasat untuk mengalahkan kubu Demang Bincarung. Perbukitan yang penting harus direbut adalah di sekitar Gunung Pabeasan dimana disana ada sebuah Huma padi yang menjadi bahan perbekalan dari Demang Bincarung.

Agung Wirasaba bersiasat Dengan cara mengunakan senjata umbi-umbian dari buah Kuning Besar sejenis Raja Gowah atau Koneng Pari sebagai peluru Katapelnya dan katapel pelemparnya hanya menggunakan selendang atau karembong dengan cara “dikebutkeun” saja dari arah Gunung Bubut.

Sehingga Demang Bincarung menyangka Pasukan Agung Wirasaba telah kehabisan peluru padahal menurut legenda lemparan umbi-umbian kuning juga digunakan untuk mengelabui pandangan Ki Demang ketika Burung Bincarung yang terbang di langit sebagai mata-mata keberadaan pasukan Wirasaba.

Senjata umbi-umbian yang dilemparkan oleh pasukan Agung Wirasaba hanya untuk mengalihkan perhatian Demang Bincarung supaya lengah. Hingga ketika pasukan Agung Wirasaba sedang menusuk kubu pertahanan Demang Bincarung dari arah Banekong, Bojong Cijeruk sekarang.

Setelah katapel raksasa tersebut dihancurkan dan pasir Jegang diduduki pasukan Agung Wirasaba akhirnya kubu pertahanan Demang Bincarung bisa dikalahkan.

Demang Bincarung mati dan mayatnya terguling-guling ke Sungai Cidayeuh hingga terjatuh ke sebuah batu yang sampai kini disebut Batu Lonjor.

Agung Wirasaba tetap mengambil mayatnya dan menyuruh prajuritnya menguburkan Demang Bincarung di bekas bentengnya.

Menurut Narasumber Kuburan Ki Demang Bincarung sendiri sekarang ditemukan di Hulu mata air sungai kecil Cikapundung di Bojong Cilumping di tanah perhutani dan dikeramatkan hingga sekarang.

Petilasan-petilasan maupun tempat kejadian tersebut sekarang masih ada meliputi Petilasan Gunung Bubut Datar, Gunung Pabesan Datar, Gunung Undem Desa Datar, Batu Lonjor Sungai Cidayeuh, Parit Bojong Cilumping, Banekong Cijeruk, Pasir Jegang Cijeruk, Mata Air Cikapundung Cilumping, Batu Lumpang Bojong Cilumping serta di sepanjang tepian Sungai Cidayeuh.(INT)

Beri komentar :
Share Yuk !