Krisis Tol

Oleh: Dahlan Iskan

PRESIDEN melarang ekspor batu bara –tepatnya sebenarnya oleh dirjen Minerba. Menteri membolehkannya –seminggu kemudian.

Pihak yang mendukung dan yang oposisi punya analisisnya sendiri-sendiri. Medsos sudah
membahas dua-duanya.

Itu menunjukkan Presiden Jokowi tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman drastis secara
mendadak. Tapi presiden juga realistis: silakan menterinya mencabut larangan itu bila mana
tujuan pokok hukuman sudah tercapai.

Yang oposisi menilai: itu memalukan (keputusan presiden dianulir menteri), tidak ada harga
diri (berlawanan dengan ajaran Jawa: idu geni), mudah terpengaruh (setelah ditekan negara
lain), dan sebangsa itu.

Saya mendengarkan dua-duanya. Diskusi yang sangat menarik. Sikap saya sendiri jelas
–mirip yang kemudian menjadi sikap Dewan Energi Nasional: batu bara sebanyak-banyaknya
harus untuk menghasilkan energi murah di dalam negeri –demi mendapatkan keunggulan
dalam persaingan industri.

Pemerintah sebenarnya juga sudah mengakomodasikan itu: lewat DMO (domestic market
obligation). Para pemegang izin harus menyisihkan 25 persen batu baranya untuk diabdikan
bagi kepentingan dalam negeri.

Aturan DMO itu sudah berlaku lama sekali. Sejak zaman Presiden SBY. Presiden Jokowi
lantas menyempurnakannya.

Di zaman Pak SBY, yang penting ada alokasi untuk dalam negeri: sebanyak 25 persen dari
total produksi masing-masing pemegang izin. Aturan itu tidak mencampuri urusan harga: itu
business to business.

Di tahun 2017, Pak Jokowi tidak hanya mengatur persentase: harga DMO itu dipatok. Yakni
USD 70/ton –berdasar kualitas 6.322. Ada rumus harga berikutnya: kalau kualitas batu bara
di atas itu. Atau di bawahnya.

Penetapan harga DMO itu sebenarnya masih tetap menguntungkan pemilik tambang. Ada
hitungan rasionalnya. Sangat rinci: cost plus plus plus.

Yakni seluruh biaya menambang sudah dimasukkan. Masih ditambah biaya bunga. Lalu
ditambah biaya jasa. Ditambah pula keuntungan untuk pemilik tambang. Jadilah USD 70/ton.
Tapi tetap saja banyak yang tidak mau memenuhi kewajiban DMO. Lebih banyak dari yang
taat. Dari 600 lebih penambang, kurang dari 50 yang taat DMO.

Sampai-sampai PLN mengalami krisis batu bara. Sampai-sampai harus menggunakan LNG
yang mahal.

Heboh.

Para penambang pilih menggenjot ekspor habis-habisan. Sampai melebihi 500 juta ton
setahun. Di tahun kemarin. All out. Habis-habisan. Seolah batub ara itu tidak akan pernah
habis.

Harga ekspor memang lagi gila-gilaan: naik dari USD 80 menjadi USD 250/ton. Sekarang
harga itu memang sudah turun. Tapi hanya sedikit. Masih di angka USD 170. Masih selisih
USD 100 di atas harga DMO.

Sebenarnya penetapan harga USD 70 itu sangat membantu PLN –yang tarif listriknya tidak
bisa naik-turun mengikuti fluktuasi harga batu bara. Tapi selisih USD 100 itu menjadi Rp 1,5
triliun untuk setiap 1 juta ton. Mata Anak Alay pun akan berubah menjadi bang-jo melihatnya.

Maka muncullah ide baru dari pemerintah: membentuk BLU –badan layanan umum. Yakni
seperti perusahaan tapi bukan BUMN. Atau seperti lembaga pemerintah tapi di luar APBN.
Berarti kementerian ESDM yang akan mendirikan BLU itu. Anda bisa mengusulkan nama
nya: misalnya, Rezeki Denbey.

Pemerintah tidak mau tahu lagi: seluruh pemilik tambang harus menyerahkan 25 persen
produk mereka ke BLU.

Berarti BLU akan punya stok batu bara dalam jumlah puluhan atau ratusan juta ton.
Mungkin BLU akan membangun stok pile –gudang terbuka batu bara yang mahaluas. Berarti,
BLU juga harus membangun pelabuhan besar. Ini menyangkut biaya triliunan rupiah.
Atau BLU menyewa saja fasilitas seperti itu. Baik di lokasi milik penambang sendiri atau di
gudang-gudang milik PLN. Atau milik siapa pun.

Saya harus akui ide BLU itu bagus –kalau dilaksanakan sejak 15 tahun lalu. Fasilitas itu bisa
sekaligus untuk blending batu bara. Batubara yang sangat baik dicampur dengan yang kurang
baik: menghasilkan batu bara baik. Juga batu bara yang punya standar mutu yang konsisten.
Sekali lagi investasinya sangat besar: termasuk mesin-mesin blender raksasa.

Berarti BLU mendapat batu bara itu dengan harga beli USD 70. Lalu BLU-lah yang menjual
ke PLN. Dengan demikian PLN tidak perlu lagi punya anak usaha batu bara. Juga tidak perlu
lagi ada divisi pembelian batu bara.

Kalau memegang angka tahun lalu, jumlah produksi batu bara Indonesia 600 juta ton. Kalau
DMO-nya 25 persen berarti BLU akan menerima batu bara 150 juta ton.

PLN hanya memerlukan sekitar 125 juta ton. Berarti BLU bisa mengekspor selebihnya: 25
juta ton. Dengan harga internasional.

Maka BLU akan mendapat laba luar biasa besar: sekitar Rp 40 triliun setahun. Kalau harga
batu bara tetap seperti sekarang. Duh besarnya. Hahaha SWF bisa tiba-tiba memutar uang itu
untuk proyek apa saja –asal jangan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Tentu ada harapan baru: untuk tol Sumatera dan Kalimantan. Lewat SWF. Dari sini dana batu
bara itu bisa diabdikan kembali ke daerah penghasil batu bara.

Krisis di PLN ternyata bisa menghasilkan ide brilian untuk membangun jalan tol di
mana-mana. (*)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/.
Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway

Beri komentar :
Share Yuk !