Subsidi Inflasi

MENGAPA kini pemerintah ”berani” menyisihkan ratusan triliun APBN untuk subsidi BBM?

Bukankah pemerintah Jokowi awalnya menyiratkan kebijakan antisubsidi? Sampai-sampai medsos berani mengecam pemerintahan SBY sebagai penghambur APBN untuk subsidi?

Kita memang bukan Amerika. Yang membiarkan BBM ikut harga pasar. Sampai anak saya yang lagi di Amerika perlu kirim foto dari stasiun pengisian BBM. Itulah foto disapbn,play harga BBM hari itu: 5 dolar/galon. Naik hampir 100 persen dibanding zaman Donald Trump jadi preside.

Kalau BBM kita dilepas ke pasar, harga premium juga akan naik dua kali lipat. Dari harga sekarang.

Mungkin memang tidak akan ada demo. Tapi kenaikan itu akan mendorong inflasi sangat tinggi. Saya menengarai pemerintah sekarang lebih takut ke inflasi daripada ke demo mahasiswa.

Amerika tidak takut inflasi. Saat ini inflasi Amerika yang tertinggi dalam sejarah 50 tahun. Amerika memiliki cara tersendiri untuk mengendalikan inflasi: menaikkan suku bunga. Bukan dengan cara mengintervensi harga.

Akibatnya negara seperti Indonesia terkena imbas. Rupiah melemah hari-hari belakangan. Kemarin hampir kembali mencapai Rp 15.000/dolar.

Sebenarnya ada rahasia lain di balik inflasi itu. Statistik menunjukkan setiap kali harga BBM naik tingkat kemiskinan ikut naik.

Inflasi memang berarti berkurangnya gaji. Juga pendapatan petani padi. Gajinya tidak turun tapi harga-harga naik. Itu harus disebut gaji turun.

Maka tidak mudah bagi seorang presiden memutuskan menaikkan harga BBM. Pun bila akibatnya harus menambah subsidi.

Apalagi sekarang ini. Meningkatnya angka kemiskinan akan sangat sensitif. Mendekati Pemilu.

Apalagi sudah ada yang mengungkapkan data secara kritis: selama 8 tahun pemerintahan Jokowi, penurunan angka kemiskinan hanya 1,5 persen. Dibanding Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, prestasi itu yang paling rendah.

Harga minyak mentah dunia sekarang ini memang sangat tinggi: USD 100 per barel. Maka kalau harga BBM terus dipertahankan angka subsidinya bisa Rp 500 triliun.

Kalau pun subsidinya sebesar itu, kita jangan pernah mengejek Jokowi. Sekarang maupun kelak. Itu memang pilihan yang amat sulit. Ingatlah statistik tadi: setiap kali harga BBM dinaikkan, tingkat kemiskinan ikut naik.

Para ekonom memang akan selalu bilang: subsidi BBM itu salah sasaran. Pemilik mobil kok disubsidi. Tapi statistik berbicara seperti itu tadi. Belum pernah terjadi kenaikan BBM yang tidak membuat kemiskinan naik.

Saya bukan ekonom, tapi misteri di statistik tersebut harus ada bahasan teori ekonominya.

Memang tidak apa-apa tingkat kemiskinan naik. Katakanlah naik 2 persen. Demi penurunan subsidi. Tapi itu hanya boleh terjadi kalau usaha penurunkan kemiskinan sebelumnya sudah mencapai 6 persen. Masih bisa ”untung” 4 persen.

Tapi di saat penurunan kemiskinan hanya 1,5 persen tambahan 2 persen akibat kenaikan BBM membuat kita ”rugi” 0,5 persen.

Saya sangat memahami sulitnya pengambilan keputusan sekarang ini. Subsidi atau inflasi.

Anda masih ingat: harga minyak mentah sekarang ini bukan yang tertinggi. Harga itu pernah mencapai 112 dolar/barel.

Yang membuat pemerintah tetap tenang adalah: uangnya ada. Yakni dari kenaikan harga batu bara di pasar internasional. Gila-gilaan.

Durian runtuh dari batu bara ini cukup untuk menambal subsidi BBM. Sedang durian runtuh dari sawit lebih dari cukup untuk menambal subsidi pangan.

Pemerintah Jokowi memang seperti direstui alam. Dua komoditas ekspor kita luar biasa hebatnya: batu bara dan sawit. Ditambah nikel.

Curah hujan juga sangat baik selama 8 tahun terakhir. Belum pernah ada kemarau panjang selama pemerintahan Jokowi. Hasil bumi melimpah. Pangan berlebih di saat dunia mengeluhkan ancaman kekurangan pangan.

Presiden akan datang belum tentu mendapatkan dukungan alam sebaik ini. (Dahlan Iskan)

Beri komentar :
Share Yuk !