Antologi Rasa, Rumitnya Jalinan Kisah Segi Empat

Novel Antologi Rasa karya Ika Natassa yang kali pertama terbit pada 2011 menuai respons yang luar biasa. Pembaca sampai punya gambaran akan tokoh-tokohnya. Bagaimana dengan filmnya? Dirilis tepat di momen Valentine’s Day, sayang film tersebut tak mampu memberikan “rasa” yang kuat.

HARRIS, Keara, Ruly, dan Denise merupakan empat banker sekantor yang bersahabat bertahun-tahun yang kemudian menyadari bahwa mereka terjebak di pusaran “cinta sahabat sendiri”. Harris yang digambarkan sebagai sosok tengil bin playboy itu naksir Keara sejak hari pertama bertemu. Tapi, Keara jatuh cinta kepada Ruly yang hatinya tertambat pada Denise. Nah!

Film dibuka dengan adegan Keara (Carissa Perusset) dan Harris (Herjunot Ali) di pesawat menuju Singapura. Seharusnya mereka tidak hanya berdua, bertiga dengan Ruly (Refal Hady). Tapi, Ruly tiba-tiba membatalkan di detik-detik akhir. Adegan pembuka itu diiringi monolog Keara tentang perjalanan, pengenalan karakter, lalu ditutup dengan kalimat, “Selamat datang di kehidupan cinta gue yang berantakan”.

Saat itu tujuan mereka ke Singapura adalah untuk nonton F1. Harris, tepatnya. Begitu mendarat, cowok tengil tersebut terus-terusan nyerocos tentang F1. Sementara itu, Keara memendam kecewa setelah tahu alasan sebenarnya Ruly tiba-tiba membatalkan ikut ke Singapura. Kejadian tak terduga antara Keara dan Harris menambah runyam suasana. Kejadian besar yang mengancam hubungan persahabatan mereka.

Kemudian, dalam perjalanan bisnis ke Bali, Keara diplot satu tim dengan Ruly. Di saat Keara berusaha menekan perasaannya, Ruly justru menyadari ada hal yang berbeda. Sementara itu, tokoh Denise (Atikah Suhaime) tidak mendapatkan banyak porsi di film tersebut. Namun, keberadaannya sangat menentukan.

Well, jika berekspektasi bakal baper maksimal oleh film produksi Soraya Intercine Films itu, sebaiknya jangan berharap lebih. Rasa tersebut tidak didapatkan sejak awal, juga dalam perjalanan cerita, bahkan ketika konflik mulai bergulir. Narasi yang terlalu padat, penggunaan monolog, maupun voice over yang seperti berusaha untuk “memindahkan” novel ke film terasa melelahkan dan “rasa”nya jadi tidak sampai.

Gambaran chemistry antarsahabat bertahun-tahun juga tidak tampak. Yang terlihat hanya interaksi teman biasa dengan gestur yang canggung. Ditambah sudut pandang bercerita yang berganti-ganti dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Namun, eksekusinya kurang smooth. Dinamika persahabatan dan percintaan jadi kurang gereget.

Satu-satunya yang lumayan nancep mungkin kata-kata Harris berikut: “Kalau dia bikin lo ketawa, itu tandanya lo suka sama dia. Kalau dia bikin lo nangis, itu tandanya lo cinta sama dia”. Padahal, sang pemilik cerita, Ika Natassa, menuturkan bahwa yang dipindahkan bukan adegan per adegan atau story line. “Tapi, memindahkan ’rasa’ yang didapat saat membaca novel dan ketika menonton filmnya,” tutur Ika dalam sesi press conference beberapa waktu sebelumnya.

Sutradara Rizal Mantovani pun mengungkapkan hal serupa. “Dalam proses mengadaptasi buku menjadi film, kami menuangkan ’jiwa’ tokoh-tokohnya ke dalam film,” ujarnya. Tapi, tim produksi tampaknya tidak berhasil meracik “bahan baku” cerita yang potensial tersebut menjadi tontonan yang berkesan.

Memang, respons penonton seperti “terbelah”. Ada yang tetap bisa menikmati film dan merasa puas, ada pula yang pulang tanpa mendapatkan kesan apa-apa. Anda yang mana? (nor/c22/jan)

Beri komentar :
Share Yuk !

Tinggalkan komentar