Guruku Pahlawanku

“Sampai kapan pun kamu harus tetap pada jalanmu sendiri, sekali pun semua orang menghujatmu!  Jangan biarkan mereka merendahkanmu hanya karena kamu berbeda!  Sejatinya, mereka tidak pernah dan tidak akan menjadi alasan kamu untuk sukses!!”

Seruan Pak Kano benar-benar membangkitkan ku, seketika rasa pesimis pada diriku telah hangus terbakar semangat dari Pak Kano. Aku tidak elak menyangkal apa yang dikatakan Pak Kano, guru sekaligus motivator dalam hidupku. Aku tersenyum legah menatap mata Pak Kano yang terpancar semangat tinggi, mata yang selalu menguatkan dikala aku terpuruk, mata yang selalu memancar jiwa pejuang tanpa kenal lelah.

“Ingat, Satria. Masa depanmu hanya ada di tanganmu. Bangkitlah, Bapak akan menuntunmu meraih semua itu.” ucap Pak Kano tegas

“Siap, Pak. Satria akan berusaha, berusaha, dan berusaha!!,” aku menyeru lantang, menirukan Pak Kano yang sangat ku segani ini. Pak Kano tersenyum hangat padaku, lalu mendekat ke arahku, menepuk keras punggungku.

“Bapak akan selalu ada untukmu, Satria,”.

Punggung Pak Kano kian menjauh dari pandanganku, aku memutuskan untuk bangkit dari duduk panjang di bangku kelas yang sudah sepi ini, hanya akulah seorang diri yang tadi hanya merenung dan meratapi kata-kata teman kelasku yang setiap hari menghujat dengan ribuan cacian dan makian tentang aku yang terlihat miskin dan anak kotor dari seorang ibu yang hamil di luar nikah.

Sudah tiga tahun selama aku duduk di bangku sekolah menegah atas kejadian itu selalu terulang hingga tidak ada seorang pun yang sudi menganggap keberadaanku, namun Tuhan memiliki rencana yang luar biasa dengan mempertemukanku dengan seorang guru yang selalu memberikan semangat dan dukungan, selalu mengajarkan aku arti keadilan bahwa aku masih bisa membuktikan kepada mereka yang merendahkanku, AKU HARUS SUKSES!!. Di tahun ketiga sekolahku ini, setiap hari setelah pulang sekolah aku menyibukkan diri dengan mengunjungi rumah Pak Kano sambil membawa sebuah koran yang aku dapatkan dari tetangga rumahku yang senantiasa memberikan koran gratis untukku.

Pak Kano pernah mengatakan jika setiap hari aku harus bisa meluangkan waktu untuk membaca apapun yang terpenting tetap membaca sekali pun komik atau koran
“Sedang membaca apa kamu hari ini, Satria?” Tanya Pak Kano. “Satria membaca koran, Pak.”. “Bagus.
Apa hikmah yang dapat kamu ambil dari bacaan itu?”.

“Dari bacaan “Guruku Pahlawanku” yang Satria baca, hikmahnya bahwa guru tidak pernah mengenal kata lelah untuk memberikan ilmunya pada siswanya, dari pagi hingga petang tidak kata menyerah mengibarkan semangat untuk menyongsong masa depan karena pada dasarnya segala yang diberikannya bukan sebatas ilmu sesaat yang dibuang ketika tidak lagi digunakan, tetapi ilmu yang nantinya akan menuntun siswanya untuk terus menghargai kehadirannya yang selalu memberi manfaat dan keberkahan dari masa ke masa.”

Seketika aku terkejut ketika Pak Kano melempar sebuah buku tebal yang mengenai perutku. Aku mengambilnya dan mengusap pelan, “Life is struggle,” lirihku membaca judul buku yang sedang ku pegang ini.

“Bapak tidak bisa memberikanmu pengetahuan sebanyak yang kamu terima selama tiga tahun, Bapak hanya bisa memberimu itu. Buku yang Bapak tulis berisi semua mata pelajaran yang kamu butuhkan di sekolah ditambah dengan semua ide Bapak dalam membangun percaya diri untuk bangkit dari segala masalah.

Bapak yakin dan percaya jika kamu orang yang selalu Bapak perjuangkan untuk meraih masa depanmu yang lebih baik”. Mataku memanas mendengar penuturan Pak Kano, hatiku bergetar lirih ketika kata-kata itu masuk ke liang jiwaku, menerobos masuk tanpa peduli seberapa keras aku meresapinya dalam pikiranku seakan semuanya telah bersemayam di dalam jiwaku. Aku menghampiri Pak Kano sambil memeluk erat buku tersebut, dan aku memeluk erat Pak Kano yang kini sudah ada di depan mataku

“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak, sudah mau mengajarkan Satria banyak hal. Satria berdoa semoga Tuhan selalu melindungi Bapak. Guru Satria yang sangat memberi jiwa dan raganya untuk Satria agar bisa membangkitkan kembali semangat Satria” lirihku pelan, berusaha menahan air mata yang kini sudah berada di pelupuk mata.

Aku tidak mau mengecewakan Pak Kano dengan tangisanku, sebelum aku mengecewakan dengan tangisanku aku harus membahagiakannya. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa sukses atas dirinya. Hari berlalu, bulan berlalu, hingga kini tiba saatnya aku dihadapkan dengan sebuah ujian atas kerja kerasku memelajari semua mata pelajaran, aku berniat akan bersungguh-sungguh mengerjakannya agar nantinya hasil yang ku peroleh dapat memberi kepuasan atas perjuanganku selama tiga tahun menimba ilmu di sekolah menengah atas ini.

Akhirnya sebulan setelah ujian itu dilaksanakan aku mendapat nilai yang memuaskan, rasa syukur aku panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa terimakasih kepada Pak Kano yang selalu menemaniku selama ini.

Dihari pengumuman hasil ujian aku dinyatakan lulus. Aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Pak Kano setelah satu bulan lamanya aku tidak pernah melihat batang hidungnya, kala itu aku hanya mendengar dari guru sekolah jika Pak Kano sedang sakit, namun ketika aku berniat menjenguknya guru sekolahku melarang aku untuk pergi dari sekolah karena setiap harinya aku memang sudah disibukkan dengan berbagai kesibukan mulai dari penambahan materi, pendalaman, praktek, bahkan les yang diselenggarakan oleh sekolahku. Jangan heran kenapa aku bisa mendapatkan itu semua, karena aku telah mendapat beasiswa bebas dari sekolah yang tidak lain adalah permohonan dan usaha dari Pak Kano.

Sesampainya di rumah Pak Kano aku masih tidak terlihat, bahkan ketika aku mengetuk pintu rumahnya masih tetap sama tidak ada sahutan dari dalam rumah. Semakin lama perasaanku makin tidak enak hingga sebuah suara memecahkan prasangkaku. “Satria”, Aku menoleh ke belakang dengan senyum yang tidak bisa kutahan lagi, namun senyumanku memudar ketika orang yang memanggilku bukanlah Pak Kano melainkan Bu Nilam, istrinya. “Bu Nilam, boleh Satria bertemu Pak Kano?” tanyaku cepat. Bu Nilam diam, matanya berkaca-kaca, hanya segaris senyum tipis jawaban yang diberikannya membuatku semakin tidak karuan kemana Pak Kano. “Ibu mau kasih ini sama Satria” Dengan cepat aku menarik sebuah kertas yang berada di tangan Bu Nilam, rasa penasaranku sangat besar hingga aku dengan tidak sopan menarik dengan keras

Satria Jayadhiyar.. Maafkan Bapak tidak bisa menemanimu lagi, idak bisa memberimu semangat lagi. Maafkan Bapak pernah mengecewakanmu. Bapak tidak mau mengajarkanmu lagi dengan kata-kata Bapak yang kurang enak didengar. Bapak hanya berpesan 3 hal dengan kamu, Satria. Pertama, ikuti kata hatimu jangan dengarkan kata orang lain yang hanya bisa memutuskan mimpimu tanpa bisa membangunnya. Kedua, jangan pernah putus asa apapun kegagalan yang kamu dapatkan, bangkit lagi, bangkit terus hingga kamu mencapainya. Ketiga, jangan pelit ilmu karena kamu akan terkenang ketika ilmu terus mengalir darimu, seperti halnya Bapak yang sudah memberikanmu ilmu yang Bapak miliki. Selamat tinggal, Satria. Bapak akan selalu di jiwa mu walau tanah sudah menimbum raga Bapak hingga tidak lagi bisa memeluk erat tubuhmu. Surga sudah menanti Bapak, Satria
Tertanda, Rahdandi Kano

Itulah akhir kisah guruku sekaligus motivator hidupku. Tidak ada yang lebih bermakna dari usahanya dalam menghadapi aku, seorang murid yang pernah terpuruk dan tidak lagi bermakna. Beliau yang selalu mengajarkanku bahwa hidup itu adil, semua orang bisa sukses tinggal cara orang tersebut dalam menyikapi setiap masalah yang dia miliki. Beliau motivasiku, beliau penawar sedihku, dan beliau adalah seorang guru yang menjadi pahlawan bagi hidup dan matiku. (*)

 

Beri komentar :
Share Yuk !

Tinggalkan komentar