Istana Siapkan Draf Perppu, BEM Tolak Undangan Jokowi

JAKARTA – Presiden Joko Widodo mempertimbangkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), terkait Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum diketahui kapan Perppu tersebut akan diterbitkan. Namun, pihak istana sudah menyiapkan draf-nya.

Hal itu disampaikan Mensesneg, Pratikno. Menurutnya, sudah menjadi tugasnya mempersiapkan segala sesuatu untuk presiden. “Kita antisipasi apa pun keputusan Presiden dalam beberapa hari ke depan. Yang jelas tugas staf adalah menyiapkan segala sesuatu yang akan diputuskan pimpinan,” kata Pratikno di Masjid Baiturrahman Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (27/9).

Namun, dia tidak menyampaikan kapan Jokowi akan mengeluarkan Perppu tersebut. “Soal itu hanya presiden yang tahu. Saya hanya mempersiapkan saja. Waktunya tergantung presiden,” imbuhnya.

Seperti diketahui pada Kamis (26/9), Presiden Jokowi mengatakan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu UU KPK. Namun, Jokowi menegaskan masih akan mengkalkulasinya. Terutama dari sisi politik. Kepala Negara juga belum dapat memastikan kapan akan menerbitkan Perppu UU KPK tersebut.

Revisi UU KPK berlangsung sangat singkat. Yakni 13 hari. Dimulai 3 September 2019 DPR menyetujui usulan revisi UU KPK yang diusulkan Baleg DPR. Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) pada 11 September 2019. Selanjutnya rapat paripurna DPR RI mengesahkannya pada 17 September.

Dalam Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan perppu mempunyai fungsi dan muatan yang sama dengan undang-undang. Bedanya dari segi pembentukannya saja. Perppu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR RI.

Alasan penerbitan Perppu karena ada suatu hal yang sangat genting. KPK sendiri menyebutkan ada 26 masalah dari revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Sementara itu, pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai Presiden Jokowi masih mengamati dinamika politik sebelum memutuskan menerbitkan Perppu.

Menurut dia, saat ini Jokowi masih menimbang-nimbang tentang dinamika politik yang mungkin timbul. Terutama munculnya kekuatan lain yang menolak diterbitkannya Perppu.

“Kekuatan lain tersebut bisa jadi berasal dari kelompok masyarakat ataupun elit-elit politik yang memiliki kepentingan terhadap revisi UU KPK,” ujar Emrus di Jakarta, Jumat (27/9).

Dia mengingatkan agar Jokowi cermat dalam mengelola desakan masyarakat. Termasuk desakan mahasiswa terkait penerbitan Perppu KPK. Jika Presiden salah mengambil keputusan, maka hal tersebut dapat berdampak pada kelangsungan pemerintahan dua periode Jokowi.

“Presiden harus bisa mengelola itu. Bisa diterima bisa ditolak. Tapi kalau dia salah kelola, berbahaya,” papar Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner ini.

Secara teoritis, lanjutnya, Jokowi bisa saja melakukan pertemuan dengan elit-elit politik yang memiliki kepentingan terhadap revisi UU KPK. Dialektika dalam rangka kompromi politik semacam itu merupakan hal yang wajar.

“Biasanya dalam pengelolaan, dilakukan pertemuan-pertemuan dengan para pihak. Nantinya akan dilakukan komunikasi politik antara pihak-pihak ini. Sehingga ada titik kompromi. Bisa saja Perppu dikeluarkan. Tetapi ada pasal tertentu yang boleh jadi dipertahankan. Atau pasal tertentu tidak dipertahankan, tetapi ada perubahan di sana sini,” ucapnya.

Terpisah, pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menyatakan, rencana Jokowi menerbitkan Perppu UU KPK akan menyelamatkan lembaga antirasuah itu dari pelemahan. Dia mendorong pemerintah segera mengeluarkan Perppu tersebut.

“Saya kira Perppu akan menyelamatkan KPK serta mengembalikan tingkat kepercayaan publik kepada Jokowi,” kata Feri.

Sumber masalah keributan dan adanya aksi unjuk rasa oleh mahasiswa, adalah revisi UU KPK yang diinisiasi parpol melalui DPR dan disetujui Jokowi. Presiden dianggap punya peran penting mengembalikan kekuatan KPK. Opsi Perppu KPK terbaik adalah membatalkan seluruh revisi UU KPK dan menyeleksi ulang pimpinan KPK.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo batal bertemu dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Istana Kepresidenan, Jumat (27/9). Batalnya pertemuan karena mahasiswa ingin agar dialog itu digelar secara terbuka dan disaksikan langsung oleh publik melalui televisi nasional.

Mensesneg Pratikno tidak menjelaskan detail alasan batalnya pertemuan itu. Sebelumnya, Jokowi mengaku akan bertemu dengan mahasiswa pada Jumat (27/9). “Namanya merencanakan bisa saja tertunda, jadi belum terjadwal,” kata Pratikno, Jumat (27/9).

Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) meminta agar pertemuan dilaksanakan secara terbuka. Selain itu juga dapat disaksikan langsung oleh publik melalui televisi nasional.

BEM SI juga meminta Presiden Jokowi menyikapi berbagai tuntutan mahasiswa yang tercantum di dalam Maklumat Tuntaskan Reformasi secara tegas dan tuntas.

Kedua, permintaan itu diputuskan karena pengalaman pertemuan dengan Presiden Jokowi pada 2015 lalu. Saat itu, BEM SI melakukan pertemuan di ruang tertutup dan hasilnya gerakan mahasiswa terpecah.

“Kami belajar dari proses ini. Sehingga mahasiswa tidak ingin menjadi alat permainan penguasa yang sedang krisis legitimasi publik. Sehingga akhirnya melupakan substansi terkait beberapa tuntutan aksi yang diajukan,” kata Koordinator Pusat Aliansi BEM seluruh Indonesia Muhammad Nurdiyansyah.

Dia menegaskan, tuntutan mahasiswa telah tersampaikan secara jelas di berbagai aksi dan juga jalur media. Sejatinya, lanjut dia, yang dibutuhkan bukan sebuah pertemuan penuh negosiasi. Melainkan sikap tegas Presiden atas tuntutan mahasiswa.

“Secara sederhana, tuntutan kami tak pernah tertuju pada pertemuan. Tujuan kami adalah Presiden memenuhi tuntutan mahasiwa,” papar Nurdiyansyah.

Hal senada juga disampaikan Ketua BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Thierry Ramadhan. Dia enggan menghadiri undangan Jokowi dalam rangka berdialog mengenai permasalahan yang dituntut dalam demonstrasi.

“Kami BEM se-Univeritas Indonesia memutuskan untuk tidak menghadiri undangan tersebut dan tetap menuntut pemerintah serta DPR untuk menyelesaikan Maklumat Tuntaskan Reformasi,” ujar Ramadhan.

BEM Se-UI menyayangkan undangan terbuka yang hanya ditujukan kepada mahasiswa. Tetapi tidak mengundang elemen masyarakat terdampak lainnya. Padahal Gerakan Reformasi Dikorupsi merupakan gerakan yang dilakukan seluruh elemen masyarakat. Ada delapan poin penolakan mahasiswa atas undangan Jokowi ke Istana Merdeka.

Terpisah, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu justru mengklaim bertemu 70 anggota BEM dari berbagai kampus pada Kamis (26/9) malam. Padahal, Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) menolak undangan bertemu dengan Presiden Jokowi. (rh/fin)

Beri komentar :
Share Yuk !

Tinggalkan komentar