3 detik Antara Hidup dan Mati

Dwi Nurmawan Komisaris Utama Banyumas Ekspres (Radar Banyumas Grup)

Hari Minggu lalu saya berangkat ke Cirebon untuk urusan pekerjaan. Saya sering sekali ke Cirebon dan biasanya antara naik kereta atau naik mobil. 5 hari sebelumnya saya sudah pesan tiket kereta untuk ke Cirebon dengan 2 rekan kantor. Namun hari Sabtu entah kenapa saya merasa bingung hingga sempat beberapa kali bertanya ke istri saya enaknya naik kereta atau mobil ya? Padahal saya kalau keluar kota biasa memutuskan sendiri naik apa. Lalu Sabtu malam saya putuskan naik mobil setir sendiri saja. Berangkatlah saya hari minggu pagi ke Cirebon dan menjalani kegiatan seperti biasa 2 hari tersebut.

Hari Senin setelah menjalani rapat marathon sejak pagi akhirnya rapat selesai sekitar pukul 3 sore. Saya bergegas pamit pulang kepada yang lain karena saya sampaikan saya masih ada agenda lain. Lalu saya pulang dari Cirebon ke arah Jakarta melewati tol Cipali seperti biasa. Dengan cuaca mendung dan sedikit hujan rintik mulai turun.

Setelah menempuh jarak sekitar 100km, saya mendekati Rest Area 102. Saya sempat berpikir ingin berhenti di sana dan membeli secangkir kopi sambil istirahat sejenak. Namun mendekati area tersebut hujan turun sangat deras.

Saya mengurungkan niat tersebut karena saya berpikir sulit juga untuk saya turun dari mobil dan membeli secangkir kopi ditengah hujan deras. Akhirnya saya memutuskan jalan terus.

Saya ingat saya mengambil lajur kiri dengan kecepatan rendah tidak lebih dari 70km/jam karena ingin mampir ke rest area, namun karena tidak jadi saya mulai menambah kecepatan. Saya ingat ada mobil di sebelah kanan saya dan posisi saya hampir berdampingan. Karena hujan deras dan visibility saya terbatas saya tidak bisa melihat kondisi jalan. Yang terlihat hanya percikan air dan aspal.

Pada saat itu tiba-tiba saya merasakan genangan air di ban mobil saya dan percikan genangan air yg menutupi seluruh kaca depan sehingga saya tidak bisa melihat sama sekali. Refleks saya pertama adalah menekan rem. Dan pada saat saya menekan rem, setir mobil terasa bergetar sangat hebat dan setir berputar kekiri sendiri dengan sangat kuat dan terkunci. Ini yg dinamakan Aquaplanning atau Hydroplanning (setelah saya riset istilahnya). Saya berusaha membalikkan setir ke posisi lurus namun tidak berhasil dan pada saat itu saya merasakan mobil terbolak balik setidaknya saya merasakan saya berputar 2x (entah benar atau tidak).

Dalam keadaan tersebut yg tercetus di mulut saya hanya kata “Masya Allah, Ya Allah”. Namun dipikiran saya waktu seperti berhenti, suasana hening. Dan cerita tentang kisah hidup saya selama hidup seperti ditunjukkan kembali. Pikiran utama saya adalah ke anak dan istri saya. Saya melihat perjalanan saya selama 12 tahun pernikahan saya dengan Dewi Sulistiyabudi senyum dia dan anak anak. Dalam pikiran saya bertanya ya Allah bagaimana hidup mereka tanpa saya? Sudahkah saya memberikan bekal agama dan materi yang cukup untuk mereka? Akankah setelah saya mati mereka menjadi ladang pahala saya? Saya membayangkan ingin sekali memeluk mereka sekali lagi. Saya merasakan aura yg hangat seperti mereka benar benar memeluk saya.

Lalu pikiran saya beralih ke Ibu saya, jika saya mati siapa yang akan merawat Ibu saya?Adakah dosa saya kepada Ibu saya? Maukah Ibu saya memaafkan saya?. Lalu banyak lagi flashback saya terhadap teman-teman maupun rekan kerja. Sudahkah saya berguna untuk orang orang di sekitar saya? Dan terakhir saya berpikir ternyata seperti ini cara saya meninggal. Sambil berkata “Yaa Allah saya serahkan dan pasrahkan takdir saya kepadamu bagaimana cara saya mati”. Sungguh panjang waktu terasa selama masa krusial tersebut. Namun saya perkirakan kejadian tersebut tidak lebih dari 3 detik. 3 detik yang berbatasan antara hidup dan mati. Lalu saya seperti tersadar seperti ada dorongan dari dalam hati berkata lindungi kepalamu. Refleks tangan kanan saya angkat menutupi mata dan kepala. Dan saya rasakan pecahan-pecahan kaca di tangan kanan saya. Hingga posisi mobil berhenti dalam posisi terbalik ke kanan. Posisi pintu supir dibawah dan saya tersadar dalam posisi miring.

Saya sadar dan melihat ke sekitar. Saya tidak bisa bergerak. Pikiran saya berkecamuk karena kalau di film-film action pada saat mobil terbalik biasanya tidak butuh waktu lama mobil terbakar. Saya mencari jalan keluar. Lewat pintu supir jelas tidak bisa karena terhimpit aspal. Lewat kaca depan saya tak kuat memukul kaca depan hingga pecah apalagi ada besi pembatas tol di depan saya. Seandainya pecah tetap tidak bisa keluar dari sana. Lewat kaca pintu samping kiri terlalu tinggi dan saya tidak bisa bergerak.

Saya tidak tahu berapa parah saya terluka apakah ini yang menyebabkan saya tidak bisa bergerak? Saya hanya bisa terdiam dan pasrah kepada Allah, ya Allah ternyata setelah selamat dari kecelakaan, saya harus meninggal karena mobil terbakar. Saya rasakan cukup lama saya dalam posisi tersebut, mungkin sekitar 2 menit. Hingga saya mendengar orang orang di luar mobil saya berteriak, “pak, pak, bapak sadar nggak?” Saya langsung berteriak ya saya sadar. Lalu saya dengar ada ketukan dari atas di kaca penumpang depan sebelah kiri. Saya dengar teriakan lagi, “pak bisa dibuka kacanya tidak?” Mata saya mencari tombol power window, ketemu… lalu saya tekan dan terbuka. Saya bisa tahu terbuka karena air hujan langsung masuk dan membasahi seluruh badan saya. Saya dengar lagi teriakan, “pak berdiri pak”, saya berkata “tidak bisa, saya tidak bisa bergerak”. “Seat belt pak seat belt dibuka”. Saya baru tersadar ya Allah ternyata saya tidak bisa bergerak karena seat belt masih terpasang di saya. Saya coba melepas tombolnya dan alhamdulillah terbuka. Lalu saya segera berdiri dan orang tsb mengulurkan tangan menarik saya.

Saya segera keluar dan menjauh dari mobil. Saya melihat ada sekitar 4-6 orang di sekitar saya dan saya lihat mereka supir truk dan keneknya. Mereka bertanya ada orang lain tidak pak di dalam? Dalam keadaan setengah sadar  saya menjawab tidak. Lalu dengan sigap mereka mengamankan tas pakaian dan tas laptop saya. Mereka minta saya hubungi seseorang yg saya kenal atau pjr atau ambulans. Saya baru sadar hp dan dompet saya masih di dalam mobil terpental entah kemana. Saya cuma bisa terduduk dan berkata kepada mereka tentang hal ini. Untuk saya mengambil sudah tidak mungkin dan saya tidak punya tenaga. Lalu saya lihat salah satu dari mereka langsung naik dan masuk ke dalam mobil lalu mencari barang-barang tersebut. Alhamdulillah ketemu, yang terpikir nomor yang harus saya hubungi adalah polisi, tapi saya tidak tahu. Orang-orang yang bantu saya juga tidak tahu, mereka bilang di Google saja pak (the power of mbah Google 😁).

Saya coba google namun karena hujan deras, tombol touch screen hp saya tidak berjalan sama sekali. Lalu saya terpikir menghubungi Dirut Radar Cirebon pak Yanto karena saya berpikir dia yg paling dekat lokasinya dengan saya. Dan pada saat saya hubungi saya cuma bertanya “mas saya kecelakaan, boleh saya minta no telp polisi atau pjr?” Dia cuma bilang saya kesana mas. Lalu saya foto dan kirimkan kondisi kendaraan saya dan lokasi km tkp. Sambil menunggu di pinggir jalan tsb di tengah hujan deras. Lalu ada mobil yg berhenti dan orang tsb bertanya ke saya, saya bisa bantu apa pak? Saya dari mabes polri, yg belakangan saya tahu namanya mas Toto. Saya katakan mungkin bisa bantu hubungi polisi pak. Lalu dia langsung mengamankan sekitar kecelakaan. Sambil terus setia menunggu saya bahkan berniat mengantarkan saya kembali ke rumah.

Disitu saya sempat melihat sekitar apakah saya menabrak mobil lain. Alhamdulillah korbannya cuma saya. Selanjutnya ambulans datang dan memeriksa luka-luka saya. Saya baru sadar tangan kanan saya terus mengucurkan darah dan baru saya lihat lukanya terbuka lebar dan cukup dalam. Medis bilang bapak perlu jahitan, ya saya bilang di jahit saja. Disini tidak ada biusnya. Saya bilang tidak dibiuspun sepertinya saya tidak akan merasakan apa-apa karena seluruh tangan kanan saya terasa amat sakit. Tapi mereka mengatakan sebaiknya di rumah sakit saja. Selanjutnya teman teman dari Harian Pasundan Ekspres tiba yang paling awal dan membantu proses-proses laporan dan lain-lain. Saya pamit ke mas Toto dan beberapa supir truk yang membantu menyelamatkan hidup saya. Saya mencium tangan mereka satu persatu karena saya sadar jika mereka tidak membantu saya mungkin saya tidak bisa bercerita dan menulis status ini.

Joni Bayuaji selaku GM Paseks berinisiatif mengantarkan saya ke rumah sakit terdekat. Saya pasrah saja, karena tangan saya mulai membengkak, kedinginan karena kehujanan dan mungkin mulai infeksi. Di dalam mobil saya pegang-pegang seluruh badan saya, gerakkan tangan, kaki, lihat kepala di kaca, sepertinya tidak ada luka. Saya sedikit tidak percaya dengan kecelakaan yg begitu hebat saya tidak luka parah, entah namanya mukjizat, belum ajalnya, atau apapun istilahnya tetapi saya selalu percaya Allah selalu punya rencana. Di mobil tersebut saya baru mengabarkan ke istri saya, itupun setelah disarankan Joni. Saya tidak ingin dia khawatir, info saya pun hanya saya kecelakaan, tapi saya tidak apa-apa. Ini menuju rumah sakit untuk di periksa. Pesan saya cuma jangan kasih tahu anak anak dan Ibu saya. Saya tahu akan betapa shocknya mereka. Di RS saya mendapat 7 jahitan dan luka memar besar. Teman-teman dari Radar dan WSM menyarankan periksa semua kondisi badan. Namun karena keterbasan alat saya putuskan di jahit saja dulu dan saya akan memeriksakan lebih detail esok hari ke RS besar dekat rumah saya.

Saya di antarkan pak Eko Suprihatmoko sampai ke rumah dengan selamat, saya sempat guyon dengan dia kok pelan sekali setirnya? Apa saya saja yg setirkan? Entah karena dia ingin berhati hati setelah saya kecelakaan atau saya yang merasakan perjalanan pulang lama sekali karena saya rindu sekali dengan anak dan istri saya. Di perjalanan baru saya kirim foto-foto mobil dan saya di UGD ke istri saya. Betapa shocknya dia, dia ingin segera menyusul ke rs. Cuma saya bilang saya tidak apa-apa sudah menuju ke rumah.

Setiba di rumah saya seperti biasa masuk kamar sambil senyum bilang “halooo”, Saya bersikap tidak terjadi apa-apa di depan anak-anak, lalu istri saya datang sambil menangis dan langsung memeluk saya. Anak-anak saya kebingungan. Saya bukan orang yang cengeng namun saat itu saya tidak bisa menahan haru, saya memeluk mereka semua, air mata saya tidak terbendung sambil berkata “Papa minta maaf sama kalian, papa pikir papa ngga bisa melihat kalian lagi”. Anak-anak ikut menangis, saya baru buka jaket saya dan saya kasih lihat tangan saya yang memar dan di perban. Papa habis kecelakaan, semakin saya cerita semakin mereka histeris. Anak saya yg kecil perempuan kelas 1 sd, berteriak papa maafin aku. Aku lupa berdoa buat papa. Saya makin menangis, tetapi langsung saya usap air mata dia saya bilang sudah tidak apa2. Papa sdh kembali ke rumah….

Sungguh saya tidak tahu apa rencana Allah buat saya ke depannya, dan kenapa Allah masih memberikan kesempatan hidup untuk saya. But that 3 seconds between life and death really made me realize how life is so fragile. Betapa powerlessnya kita dibandingkan kekuasaan Allah SWT. Dan betapa banyaknya orang orang baik yg mau menghentikan mobilnya di tengah hujan deras untuk membantu saya. Para supir truk, kernet, tenaga medis, patroli tol, polisi, dan banyak lagi yg mau membantu orang tak dikenal tanpa pamrih.

Tetapi satu hal yg sangat saya syukuri adalah saya masih diberi kesempatan memeluk keluarga kecil saya. Sungguh harta yg tidak terukur nilainya bisa melihat mereka kembali. This is also a reminder for me to always appreciate things that you have no matter how small it is…

So my dear FB friends and family, especially to my mother Yetty Mahtum. Dengan cerita ini saya meminta maaf dengan tulus jika ada kesalahan saya baik yang di sengaja ataupun tidak. Saya tidak pernah akan tahu apakah ke depannya saya masih punya kesempatan utk meminta maaf.

To my dear Wife Dewi Sulistiyabudi, i just want you to know that I love you with all my heart

And guys, please….. please…. hug your family tonight because maybe you’ll never have that chance again…..

With love,

Dwi Nurmawan

Credit foto after accident: Mohamad Fauzi

Beri komentar :
Share Yuk !

Tinggalkan komentar