Idul Fitri Terselubung Tendensi

Oleh : Alfian Ihsan (*)

Sudah hampir satu bulan kita menjalani puasa dan berbagai ibadah tambahan di bulan Ramadhan. Kita menjadi lebih akrab dengan masjid, aktivitas kajian, atau hanya sekedar kultum menunggu berbuka puasa.

Dalam kerangka positifistik, dikatakan bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan bukan hanya sebagai sarana individu untuk mengontrol hawa nafsu tetapi juga untuk memunculkan perilaku sosial yang lebih baik.

Kita tentu sering mendengar para penceramah mengatakan bahwa ibadah Puasa ini melatih kita untuk mengurangi makan, minum, dan membiasakan diri hidup sederhana. Namun apakah latihan ini benar – benar berhasil? Jawabannya bisa Anda temukan dalam satu minggu terakhir menjelang Idul Fitri.

Satu minggu terakhir ini kita semua sudah bisa menebak, tempat mana yang menjadi semakin ramai. Tentu pasar, supermarket, dan tempat perbelanjaan merupakan tempat yang semakin dipadati oleh pengunjung untuk mencari persiapan Idul Fitri.

Ini seolah merupakan sebuah antitesis dari apa yang disampaikan para penceramah, mengenai puasa sebagai latihan untuk mengontrol hawa nafsu. Bahwa berakhirnya bulan Ramadhan ternyata tidak dibarengi dengan hasil yang baik dari apa yang disebut “mengontrol hawa nafsu”.

“Puasa sebagai latihan mengontrol hawa nafsu” hanya sebuah istilah yang gaungnya disuarakan untuk mengisi waktu menjelang berbuka puasa atau jeda kultum antara shalat tarawih dan sholat witir. Latihan hanya sebuah latihan, kita tidak akan pernah tahu ini akan berhasil kapan.

Bahkan sebuah fakta yang sudah menjadi tren tahunan, selama bulan Ramadhan pasti grafik ekonomi akan meningkat. Meski kita tidak bisa menafikan tingginya aktifitas filantropi seperti bagi takjil dan menu berbuka, ada kecenderungan pada masyarakat untuk merubah menu sahur dan berbuka mereka menjadi sedikit lebih berkualitas dari menu di hari biasa.

Sekali lagi, jika kita kembali pada tujuan awal ibadah puasa sebagai sarana untuk berlatih hidup sederhana. Maka kesederhanaan semacam apa yang kini bisa kita harapkan?

Padahal nilai kesederhanaan inilah yang kita butuhkan di tengah arus kehidupan yang sudah over konsumerisme. Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man (1968) mengatakan bahwa setelah era modern yang fokus pada peningkatan produksi, kini masyarakat bergerak menuju era posmodern dengan konsumerisme sebagai ujung tombak kehidupan.

Gairah konsumsi masyarakat semakin meningkat dengan diciptakan sebuah propaganda mengenai “kebutuhan palsu”. Propaganda mengenai “kebutuhan palsu” ini dibentuk oleh media massa yang melayani kebutuhan pemerintah dan pelaku usaha demi menggenjot pendapatan.

Dalam budaya posmodern, kepemilikan materi merupakan tolok ukur bagi level sosial individu di tengah masyarakat. Oleh karena itu banyak orang berusaha meningkatkan level sosial mereka dengan megejar kepemilikan terhadap rumah, kendaraan, pakaian yang bagus, dan gadget yang mahal.

Parahnya, budaya konsumerisme ini juga masuk secara subtil pada ranah keagamaan. Kita bisa melihatnya dari pembangunan masjid yang mementingkan aspek fisik yang megah dan mewah, alih-alih menyusun program pendidikan keagamaan berkelanjutan.

Secara empiris kita sudah melihat bagaimana satu minggu menjelang Idul Fitri merupakan waktu krusial untuk ritual berbelanja. Iya, belanja memang sudah menjadi ritual tambahan untuk menyambut Idul Fitri.

Akan sulit bagi kita untuk menemukan “hidup sederhana” dalam aktifitas belanja Idul Fitri. Bahkan di masa pandemi seperti sekarang ini, justru Idul Fitri adalah momen yang oleh Pemerintah  diharapkan mampu mengerek aktifitas ekonomi. Betul, muara dari Idul Fitri adalah perbaikan ekonomi, bukan perbaikan akhlak!

Membeli baju baru, aneka jajanan, mempercantik rumah, hingga membeli kendaraan baru. Aktifitas konsumsi ini bersifat serentak dan hampir menyeluruh, kecuali pada kaum Mustadhafin terdampak ekonomi akibat pandemi.

Aktifitas belanja serentak ini bagi George Ritzer, Sosiolog asal Amerika, disebut dengan Katedral Konsumsi. Bagaimana umat beragama ini merelakan tubuh mereka untuk menjadi etalase dari komoditas yang diproduksi dan direproduksi oleh budaya kapitalisme.

Hal yang diwajibkan bagi umat Islam menjelang Idul Fitri adalah melaksanakan Zakat Fitrah, bukannya berbelanja. Namun ada sebuah dorongan ideologis dan norma tersembunyi yang seolah mewajibkan setiap keluarga melakukan aktifitas belanja menjelang Idul Fitri.

Norma ini secara halus menyusup dalam alam bawah sadar sehingga nyaris tidak ada perlawanan dan pembahasan masif mengenai kenapa umat Islam harus berbelanja menjelang Idul Fitri. Justru umat Islam hari ini menggunakan momen Idul Fitri untuk mendapatkan penilaian sosial.

Olly Pyyhtinen, seorang sosiolog asal Finlandia mendefinisikan sebuah fenomena penilaian sosial (Social Currency). Bahwa keberadaan materi yang dimiliki oleh seorang individu berpengaruh pada penilaian masyarakat terhadap dirinya.

Materi menjadi sebuah “mata uang sosial” yang menentukan nilai seorang individu. Kecenderungan ini bisa kita lihat dari aktifitas konsumsi seseorang menjelang hari raya cenderung bertujuan untuk diperlihatkan kepada orang lain.

Seseorang ingin diketahui oleh orang lain bahwa dia mampu menghidangkan jajanan yang enak di mejanya, memakai baju yang bermerk dan mahal, dan mampu membeli kendaraan baru. Hal ini dilakukan agar seseorang ini mendapatkan penilaian yang baik dari orang lain, dan dinilai telah mendapatkan kesuksesan secara finansial.

Ini merupakan fenomena yang sudah kerapkali menjadi perbincangan di lini masa, bahwa aktifitas silaturahmi saat Idul Fitri kerapkali menjadi hal yang malah menjengkelkan karena adanya penyusup. Penyusup ini adalah orang – orang yang hanya ingin pamer kekayaan dan kepemilikan dengan bercerita mengenai pencapaiannya dan menempelkan benda – benda mahal di tubuhnya.

Sehingga kita harus terus melakukan refleksi atas diri kita sendiri dan komunitas terdekat kita, bagaimana merayakan Idul Fitri tanpa tendensi. Seyogyanya, Idul Fitri adalah waktu untuk memperbaiki akhlak diri, menjalin silaturahmi, tanpa disusupi upaya untuk panjat sosial.

Alfian Ihsan

Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Unsoed

Anggota ISNU Banyumas

Beri komentar :
Share Yuk !