Jangan Asal Menghakimi (Autokritik bagi Para Pendidik)

Oleh: Akhmad Saefudin SS ME

Setengah berlari, pagi itu Budi (nama rekaan, pen.) menyusuri jalan menuju ke sekolah. Sesampai di sekolah, pintu kelas sudah tertutup, pertanda kegiatan belajar-mengajar sudah berlangsung. Setelah mengetuk pintu dan diizinkan masuk, Budi pun melangkah memasuki ruangan kelas sembari menunduk.

Atas keterlambatan masuk sekolah pagi itu, ia mendapat hukuman: sabetan –untuk tak menyebut pukulan, di telapak tangan dengan penggaris plastik oleh guru kelas (sebutlah Pak Hasan).

Hari kedua, siswa kelas 4 sekolah dasar itu kembali datang terlambat sehingga mendapatkan hukuman serupa. Hari ketiga, lagi-lagi keterlambatan Budi kembali terulang.

Tak pelak, hal itu membuat hati Pak Hasan menjadi dongkol. Betatapun, instingnya sebagai seorang pendidik mendorong rasa penasaran dan keingintahuan Pak Hasan tentang alasan atau musabab keterlambatan anak didiknya.

Maka, sebelum sampai sekolah pagi ini, Pak Hasan mengayuh sepedanya ke arah rumah Budi.
Sesampai di perempatan, dari kejauhan tampak olehnya seorang anak usia belasan tahun sedang mendorong sebuah kursi roda. Ya, tak salah; itu adalah anak didiknya: Budi!

Pak Hasan segera meminggirkan sepedanya agar si murid tidak melihat dan memergoki dirinya. Di atas kursi roda tampak olehnya seorang anak bertubuh besar, sekira 4-5 tahun lebih tua dari Budi. Rupanya yang duduk di kursi roda itu adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang tidak bisa berjalan; dan, Budi dengan sukarela mengantarkan kakaknya itu ke sekolah ABK, yang lokasinya berbeda arah dengan sekolahnya, dengan konsekuensi dirinya terlambat.

Melihat pemandangan yang ia saksikan dengan mata kepala sendiri, Pak Hasan tercenung dan terbuka mata hatinya. Diliriknya jam di tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 06 lewat 45 menit.

“Pantas, anak itu selalu terlambat sampai sekolah,” gumam Pak Hasan dalam hati. Lalu, ia berbalik dan bergegas mengayuh sepedanya agar tak terlambat untuk menunaikan tugas mulianya mengajar anak-anak di sekolah.

Bagaimanapun, Pak Hasan menyadari pagi ini dirinya telah mendapatkan pelajaran sangat berharga dari muridnya sendiri.

Kini, jam menunjukkan pukul 07.05 pagi. Semua siswa sudah berada di dalam kelas dan pelajaran baru saja dimulai. Sementara, di halaman sekolah, Budi tampak setengah berlari menuju ruang kelas. Sejumput kemudian, dengan sedikit ragu ia mengetuk pintu kelas. Terdengar suara parau Pak Hasan dari dalam, “Ya, masuk!”

Budi pun melangkah dan segera menghampiri sang guru.

Sekira jarak satu setengah meter dari Pak Hasan, ia berhenti. Seraya menunduk, Budi mengulurkan telapak tangannya dan bersiap untuk menerima “hukuman” dari sang guru. Dua makhluk itu, murid dan guru, berdiri berhadap-hadapan dalam kebisuan. Akhirnya, Pak Hasan memecah kebekuan: bergerak, meletakkan penggaris plastik yang dipegangnya di atas telapak tangan si murid. Selanjutnya, perlahan-lahan Pak Hasan membuka telapak tangannya sembari berujar lirih, “Pukullah saya!”

Budi tampak bingung, tak mengerti maksud sang guru.

Tidak dinyana, guru itu kemudian berlutut dan serta-merta mencium telapak tangan si murid. Budi masih dalam kebingungan dan canggung. Tak berselang lama, Pak Hasan merengkuh tubuh siswanya itu ke dalam dekapannya. Pak Hasan memeluk dan menepuk-nepuk pundak muridnya, teriring rasa sesal atas kealpaan dirinya menghukum bocah lugu itu. Betapa tidak? Tiga hari berturut-turut, ia telah memvonis muridnya bersalah dan memberikan hukuman, tanpa terlebih dulu menyelisik musababnya.

Kisah di atas adalah ‘tafsir’ saya atas video pendek karya Elvis Naci (2020). Saya menyebut tafsir, karena video itu memang nyaris tanpa dialog sehingga saya harus nentafsirkannya.

Sekadar catatan, Elvis Naci adalah seorang Imam Albania. Pria kelahiran 7 Mei 1977 ini menjabat direktur dakwah Islam di Komunitas Islam Albania, yang beroperasi di Masjid Tabak di Tirana.

Pada tahun 2019, pendiri dan presiden Firdeus Non-Profit Cultural Foundation ini dinobatkan sebagai Man of the Year oleh beberapa majalah nasional setempat.

Kembali ke tema, diakui atau tak, dalam pandangan umum para guru selama ini –termasuk Pak Hasan, terlambat masuk sekolah dianggap sebagai pelanggaran atas tata tertib sehingga pelakunya harus dihukum dengan dalih: untuk memberikan efek jera.

Ternyata, apa yang dilakukan Pak Hasan kali ini keliru. Untungnya, ia segera menyadari (baca: mengetahui) kekeliruan yang dibuatnya. Bayangkan, apabila Pak Hasan tidak melakukan ‘check and recheck’ di lapangan. Boleh jadi, ia akan keterusan memvonis muridnya suka melanggar aturan dan patut dijatuhi hukuman, tanpa didasari alat bukti yang sah dan meyakinkan.

Di sisi lain, tindakan humanis seorang Budi –menolong sesama yang butuh bantuan, alih-alih beroleh apresiasi justru berbuah sanksi. Dan, sangat mungkin kasus serupa “Budi vs Pak Hasan” jamak terjadi di berbagai belahan bumi –termasuk negeri ini. Ironis, bukan?

Akhmad Saefudin SS ME, mantan Waka Kurikulum MTs & MA Al Ikhsan Beji Kedungbanteng, tinggal di Purwokerto

Beri komentar :
Share Yuk !