Keterbatasan Lingkungan Tingkat Pendidikan Anak Pedalaman Untuk Berkembang

Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan dan merupakan hak setiap manusia. Pendidikan adalah proses perubahan sifat, tingkah laku untuk mendewasakan manusia. Menurut Widodo dalam makalah Handoyo&Zulkarnaen (2019) berjudul “Menjadi Mahasiswa yang Unggul di Era Industri dan Society 5.0”  menyampaikan bahwa keberhasilan dalam pendidikan akan dapat mengurangi angka kebodohan, tingkat kemiskinan, dan tentunya akan mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang belum baik.

Ada 5 (lima) penyebab utama yang menyebabkannya, yaitu: rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, dan kurangnya pemerataan pendidikan ke seluruh pelosok desa.

Pengalaman mengikuti program Kampus Mengajar (KM) angkatan-1 telah mengantarkan saya ke sebuah SD Negeri di salah satu desa kecamatan Majenang, ujung barat Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Waktu tempuh menggunakan sepeda motor menuju SD ini sekitar 3 jam dari kota.

Keadaan geografis yang dilalui merupakan daerah berbukit-bukit dan permukiman penduduk yang terpencar. Akses jalan masih berupa jalan dengan bebatuan lepas, licin dikala hujan, sangat sulit dilalui kendaraan roda empat. Apabila berpapasan maka salah satu kendaraan roda empat harus menepi. Kondisi tersebut mengakibatkan SD kekurangan siswa dan sulit berkembang.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 menyebutkan bahwa jumlah siswa tingkat sekolah dasar (SD) dibatasi antara 20-28 orang per rombongan belajar (rombel). Hal tersebut dianggap cukup sulit diterapkan di SD ini. Margono, S.Pd., selaku kepala sekolah  menyatakan “SD ini sepi peminat dan tidak setiap tahun SD membuka pendaftaran peserta didik baru”.  Pada tahun ajaran 2020/2021 hanya terdapat kelas 2, kelas 4 dan kelas 6 saja. Dari ketiga kelas dalam satu angkatan hanya berjumlah 42 orang, yang berarti masing-masing rombel berjumlah kurang dari 20 orang. Margono, S.Pd. juga menyatakan bahwa calon peserta didik kebanyakan berasal dari lingkungan sekitar sekolah, padahal angka anak masuk sekolah sedikit.

Untuk tingkat pengetahuan, kecakapan membaca/literasi dan numerasi yang mereka miliki tentu sangat jauh dibandingkan dengan anak-anak kota yang memiliki fasilitas pendidikan layak. Walaupun dalam keterbatasan, masing-masing dari mereka memiliki sebuah cita-cita tinggi. Banyak dari mereka yang ingin menjadi tentara, penyanyi, dokter, polwan, dan lain-lain.

Pada kenyataannya banyak anak-anak tersebut selepas SD hanya sampai jenjang SMP. Rata-rata lulusan SD ini melanjutkan ke SMP terdekat dengan jarak tempuh memerlukan waktu sekitar 20 menit dengan menggunakan kendaraan roda dua. Keterbatasan biaya dan kondisi lingkungan membuat mereka harus merelakan impiannya. Sangat umum dijumpai anak-anak tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, memilih bekerja dan menikah muda.

Sebuah pengalaman berharga bagi saya melihat bagian kecil dari mozaik potret pendidikan di Indonesia. Tantangan besar yang harus dihadapi, mengingat masih banyaknya daerah tertinggal. Kolaborasi dan partisipasi bersama sangat diperlukan agar terwujud peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan.

Semoga Negara Indonesia mampu memberikan optimisme atau keyakinan pada diri setiap warga negaranya bahwa “dimanapun tempatnya tak ada kata putus belajar untuk menjadi kandil gemerlap bangsa”.

Oleh :
Dwi Meilinda Istiqomah
Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan
Dibawah Bimbingan Dosen Arief Abdillah Nurusman, M.Si.

Beri komentar :
Share Yuk !