Mahasiswa Milenial, Demonstrasi ilusi Eco Chambers

Menyaksikan gaduh anarkhi demonstrasi mahasiswa dengan tagar “Gajayan Memanggil” dan seruan “Mosi tidak percaya”nya, rasanya ada geli-gelinya gitu. Terutama melihat bentangan berbagai poster yang dibawa mahasiswa milenial peserta demonstrasi. Poster-poster yang di bawa para demonstran kids zaman now sangat khas milenial, renyah, apa adanya, to the point, vulgar dan datar.

Selain menggelikan, ada keprihatinan tersendiri dari fenomena di atas. Turunnya mahasiswa tahun 1998 dengan seruan “gajayan memanggil” hari ini memiliki nuansa dan heroisme idealisme mahasiswa yang tidak sama. dimana demonstrasi hari ini tak bisa dilepas dari pengaruh teknologi informasi. Sifat gerakannya spontan, meluas dan sporadic. Berbeda dengan demonstrasi 1998 yang didahului situai politik diktatorian dan represif yang berlangsung selama puluhan tahun dan mengalami titik kulminasinya di tahun 1998.

Mahasiswa dan internet

Mahasiswa dan internet semakin sulit dipisahkan. Internet saat ini menjadi lokasi penting untuk komunikasi, pengembangan identitas dan pengembangan jaringan komunitas di abad milenial. Internet memberikan ruang ekspresi yang tidak diekspresikan di ruang offline. Gerakan dan nalar mahasiswa dalam masa kontemporer banyak dibentuk oleh logika media baru.

Gerakan mahasiswa mengalami mediatisasi atau “mediatization of movement”, yaitu fenomena dimana Gerakan mahasiswa dipicu oleh dan melalui internet. Jika pada tahun 1998 mahasiswa bergerak karena melihat, merasakan dan mengalami politik represif otoritarian, mahasiswa milenial melakukan demonstrasi dilatarbelakangi sunami hoak ataupun gempuran berita bohong berantai dalam medsos.

Kebenaran menjadi perkara yang absurd, ketika informasi diproduksi massal dalam berbagai kaukus dan kanal media social. Ini yang dalam buku Posth Truth, Dr Yasir alimi mengutipkan bagaimana Lipman mengilustrasikan pengaruh internet telah mentransformasi perubahan social di lingkungan kita. Menurut Lipman, ketika hal-hal yang jauh dan tidak dikenal dan kompleks dikomunikasikan kepada massa besar, kebenaran mengalami distorsi yang cukup besar dan seringkali radikal.

Mahasiswa Eco Chambers : demonstrasi ilusif

Tidak bias dipungkiri, sedang ada yang bergejolak dalam ranah social kita. System perpolitikan pun tengah mencari jati diri, pileg dan pilpres serentak yang digadang-gadang sebagai mekanisme social yang efektif dan efisien ternyata meninggalkan banyak catatan social dan kemanusiaan. Diluar itu media social berkontribusi besar memupuk situasi ke arah polarisasi masyarakat.

Mirisnya, mahasiswa hari ini tak jauh menjadi eco chambers. ECHO chamber adalah ruang tempat kita hanya mendengar apa yang kita teriakkan tanpa mau tahu kondisi nyata. Demikian kira-kira penjelasan sederhananya. Namun, makna dan efek yang ditimbulkannya bisa sangat berbahaya untuk dia yang berteriak. Media social hari ini hanya menyedot orang-orang ke dalam kelompok-kelompok yang homogen atau sepandangan tentang suatu hal. Orang-orang akan dijauhkan dari informasi-informasi yang berbeda dengan pandangannya.Hal inilah yang oleh Yasir alimi dalam buku Mediatisasi Agama Posth Truth dan ketahanan social, disebut dengan echo chamber (ruang gema)–hanya mendengar apa yang diteriakan sendiri.

Eco chamber telah mende-kritisasi-kan nalar Gerakan mahasiswa, gempuran hoak dan bullshit telah menutup nalar kritis dan budaya membaca. Ketergantunga pada produksi informasi media social yang instan membuat mahasiswa menjadi eco chamber sempurna yang dinina bobokan dengan propaganda yang tidak bertanggungjawab, alih-alih memenuhi standar baku ilmiah, literasi yang dikonsumsi justru lebih banyak dari sumber tidak jelas yang sangat propagandis.

Tak bisa dipungkiri, sisi lain Internet menjadi pendorong perpecahan politik. Internet telah membentuk mahasiswa milenial berwatak konsumtif dan instan, bkan hanya dalam budaya pun dan dalam pengetahuan. Dalam ranah gerakan,Eco chambers membuat mahasiswa menerima begitu saja kebohongan dan propaganda politik sehingga demonstrasi tak lebih menjadi arena hujatan kebencian dan cacian tanpa idealisme Gerakan. Akibatnya Gerakan mahasiswa saat ini mudah dipatahkan dan dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Kerusuhan yang terjadi, isu khilafah yang menyeruak,gagalkan pelantikan presiden terpilih adalah bagian nyata dari efek eco chambers.

Eco chambers telah mendikte mahasiswa percaya pada kebohongan dimana demonstrasi menjadi Gerakan yang ilusif bukan idealis. Ilusif, karena turunnya mereka ke jalan tidak didasari idealisme yang terbangun dari realitas tetapi dari hoak dan bullshitt pada eco chambers. Sehingga miris, memahami RUU KUHP hanya menjadi persoalan “kelonan” dan “selangkangan”.

Tentu keadaan ini menjadi miris, ditengah harapan besar bangsa pada generasi emas yang telah dipenuhi dengan berbagai fasilitas dan kemudahan dalam kehidupan. Mahaiswa harus lebih dekat terhadap literasi akademik dari pada narasi hoak dan bullshit. Mahasiswa seyogyanya membangun Gerakan berangkat dari realitas, bersentuhan dengan realitas dan mengangkatnya menjadi nilai Gerakan, bukan berangkat dari fenomena media social yang sudah teriniltrasi hoak dan kebohongan. Meski demikian, taka da yang lebih bebas dari suara mahasiwa, teruslah bergulat dengan realitas, teruslah bergerak menyuarakan kebenaran. Ya, hanya kebenaran saja. Bukan kepentingan. (*)

*Mahasiswa pasca sarjana UIN Walisongo
Alamat Desa Pesawahan RT 02/04 Rawalo Banyumas

Beri komentar :
Share Yuk !

Tinggalkan komentar