Antara Demokrasi dan Netralitas Pilkada 2020 di Tengah Krisis Ekonomi Covid-19

Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi tidak pernah terpisahkan dari rutinitas 5 tahun sekali yaitu pemilu. Baik pemilu kepala daerah maupun pemilu untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Berbicara mengenai pilkada, ada yang menarik dari tema ini sebab banyak jabatan kepala daerah berakhir di tahun 2020 ini.

Itu artinya Indonesia harus segera melaksanakan pilkada serentak yang diikuti oleh 270 daerah, namun yang menjadikan isu penyelenggaraan pilkada 2020 berbeda dari tahun sebelumnya adalah pilkada 2020 ini dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 dengan berdasarkan pada aturan new normal yang kini mulai dijalankan Pemerintah secara perlahan.

Keputusan ini diambil mengingat adanya amanat demokrasi untuk bergerak atas dasar kepentingan rakyat. Rakyat membutuhkan wakil rakyat untuk mewakili kepentingan di daerah mereka, sedangkan di sisi lain jabatan kepala daerah telah berakhir tahun ini dan tidak mungkin diperpanjang lagi dengan alasan keterbatasan keadaan dikarenakan Covid-19. Namun keputusan penyelenggaraan pilkada 2020 cukup menjadi kontroversi dari berbagai kalangan selain berpotensi menjadi kluster penyebaran Covid-19 baru, juga berpotensi rawan politisasi bantuan terutama oleh petahana yang sedikitnya masih memliki hubungan dengan daerah yang diwakilinya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Abhan, Ketua Bawaslu RI, bahwa dari 270 daerah yang mengikuti pilkada 2020 terdapat 200 daerah dengan petahana yang dapat mencalonkan diri kembali, dan kondisi ini sangat rawan dan berpotensi dipolitisasi.

Ditambah pula dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi saat ini sebagai dampak dari Covid-19 yang menstagnankan berbagai sektor perekonomian yang berefek pada lapangan pekerjaan dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), peningkatan pengangguran dan kesulitan ekonomi. Bantuan berupa kebutuhan pangan maupun tunai menjadi hal yang cukup diidamkan dari berbagai kalangan masyarakatterutama bagi mereka yang terdampak langsung dari segi ekonomi, karena kebutuhan perut tetap harus dipenuhi.

Kondisi ini pun rawan disalahgunakan oleh pasangan calon dengan membagikan bantuan pada masyarakat yang bernuansa kampanye, tidak menutup kemungkinan di sela sela pembagian sumbangan terdapat komunikasi politik yang berbau provokasi dan persuasif untuk menumbuhkan suatu persepsi baik dari masyarakat terhadap pasangan calon tersebut.

Adapun tindakan-tindakan lain yang termasuk dalam politisasi sumbangan saat kampanye dengan imbalan yang diharapkan oleh pasangan calon dan partai pengusungnya sebagaimana yang telah dijabarkan dalam Perbawaslu 28 Pasal 44, yaitu untuk tidak menggunakan hak pilihnya, memerintahkan untuk mengisi ballot degan kriteria yang dilarang agar suara tidak sah, anjuran untuk memilih pasangan calon, partai politik maupun anggota DPD tertentu.

Demi menjaga kenetralan suara pemilih pada pilkada 2020 nanti, maka Muhammad Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri (Kemendagri), memberi terobosan baru berupa pengalihan isu pilkada 2020 yang tidak diperkenankan lagi untuk mengangkat isu primordial dan agama. Namun bagaimana strategi dari pasangan calon tersebut dalam mengatasi Covid-19 dan me-recovery ekonomi yang stagnan bahkan anjlok sebagai dampak dari Covid-19.

Mengatasi krisis dan memulihkan perekonomian kembali bukan berarti memberi bantuan secara instan pada masyarakat, melainkan tentang bagaimana para kandidat ini mencari solusi untuk menurunkan angka penyebaran Covid-19 serta membangun kembali perekonomian daerah yang kritis karena terdampak Covid-19. Oleh karena itu, maka perlunya meningkatkan edukasi pada masyarakat, terutama di daerah dengan melek politik yang rendah.

Karena hal ini sangat mudah disalahartikan bagi mereka yang tidak memikirkan jangka panjang 5 tahun ke depan. Di tengah sulitnya perekonomian dan gencarnya masyarakat untuk tetap bertahan hidup pada situasi seperti ini, maka tidak sedikit pastinya dari mereka yang mau menerima bantuan dengan menjanjikan imbalan sebagaimana yang diminta oleh pasangan calon yang memberinya sumbangan. Tidak sedikit dari masyarakat yang berfikir “yang penting di situasi sulit seperti sekarang saya bisa makan, meski dari sumbangan kampanye, toh rejeki ngga boleh ditolak”.

Mindset itulah yang sering muncul dan membuat sumbangan kampanye tersebut menjadi hal yang wajar dan dianggap sebuah solusi dari kesulitan pereknomian masyarakat. Memang apabila kita membahas “urusan perut” akan menjadi sedikit rumit konsepnya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat juga manusia yang butuh mempertahankan hidup. Namun di sisi lain negara ini memiliki demokrasi yang harus dijunjung tinggi netralitasnya dan tidak ada keberpihakan pada golongan tertentu berdasarkan “sogokan”.

Masyarakat harus dapat membedakan mana yang baik untuk 5 tahun ke depan, mana yang sekedar memberi kesejahteraan ilusi atau keberpihakan wakil rakyat pada kepentingan masyarakat pada saat kampanye saja. Masyarakat jangan mau dibohongi dengan giuran sumbangan dan bantuan yang hanya berlaku pada detik detik menjelang kampanye namun diabaikan haknya untuk 5 tahun ke depan yaitu mendapat perhatian dari wakil rakyat terkait kepentingan masyarakat itu sendiri.

Kondisi ini dalam dunia politik pemerintahan sering disesbut sebagai “Anticipatory Representation” atau perwakilan yang dilakukan berdasarkan sebuah antisipasi maupun demi investasi politik pada masa yang akan datang. Jenis-jenis pasangan calon seperti ini harus diwaspadai karena tidak menutup kemungkinan ada suatu hal dibalik semua ini untuk tujuan lain yang ingin diraihnya saat menjabat atau bisa disebut pejabat opportunis.

Untuk mengatasi hal ini selain memberi edukasi pada masyarakat, perlu pula adanya koordinasi pengawasan bawaslu dengan perangkat daerah secara vertikal berurutan sampai yag terendah seperti RT dan RW, perangkat desa, kecamatan karena merekalah yang berada di daerah tersebut dan mengetahui secara persis fenomena kampanye apa yang tengah digalakkan disana.

Dalam hal pengawasan memang bawaslu sudah bekerjasama dengan DPRD terkait jalannya kampanye, namun akan lebih signifikan apabila diawasi langsung oleh pihak yang memang tinggal di daerah tersebut karena merekalah yang lebih paham mengenai fenomena yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal ini kejujuran perangkat daerah sangat dibutuhkan untuk melaporkan apabila adanya pelanggaran proses kampanye di daerahnya pada bawaslu daerah yang akan dikoordinasikan pada bawaslu pusat untuk ditindaklanjuti. (*)

Beri komentar :
Share Yuk !