Diversi Sebagai Alternatif Pemidanaan Membawa Angin Segar Bagi Masa Depan Anak Berkonflik Hukum ( ABH)

Oleh: Marsiti, S.H.
PK Muda Balai Pemasyarakatan (Bapas) Purwokerto

Seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih, saat ini tidak sedikit tindak pidana yang dilakukan anak dibawah umur. Dari tindak pidana ringan hingga tindak pidana berat. Dalam UU RI No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH) atau disebut juga sebagai Anak Pelaku, yaitu anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun.

Dalam pasal tersebut ada alternatif penyelesaian masalah untuk anak berkonflik dengan hukum (ABH) di luar persidangan formal, yang disebut dengan diversi. Pelaksanaan diversi sendiri dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi masa depan Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH).

Dijelaskan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, pasal 1 ayat 7 bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana, namun demikian tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan secara diversi karena ada persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 UURI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dijelaskan bahwa diversi sebagaimana dimaksud dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan, diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Diversi inilah dapat dikatakan sebagai angin segar bagi masa depan Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) sehingga masyarakat juga tidak perlu khawatir bahwa semua tindak pidana nantinya akan di diversikan, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Jadi bagi anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana 7 ( tujuh ) tahun keatas dan atau sudah pernah melakukan tindak pidana atau (pengulangan) tindak pidana yang mendapat penetapan syah, maka tidak dapat dilakukan diversi. Hal tersebut menunjukan diversi hanya berlaku sekali dalam seumur hidup.

Kemudian muncul pertanyaan, apa itu tujuan diversi?

Dalam pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 dijelaskan bahwa diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak pelaku; menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Lalu bagaimana pelaksanaan diversi itu sendiri?

Diversi dapat dilaksanakan di tingkat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Selanjutnya yang bertindak sebagai fasilitator ditiap tingkatan pelaksanaan diversi yaitu penyidik/polisi, penuntut umum/jaksa, dan Hakim. Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas bertindak sebagai wakil fasilitator yang mendampingi Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). Pembimbing Kemasyarakatan (PK) bertugas membuat Penelitian Kemasyarakatan (litmas) kemudian saran/rekomendasi dari litmas dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses diversi seperti yang tertera dalam pasal 9 ayat (1) UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan bahwa; Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana.
b. umur anak.
c.hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Selain memperhatikan kepentingan anak, dalam proses diversi juga wajib memperhatikan kepentingan korban, sehingga apabila korban tidak sepakat maka diversi dinyatakan gagal walaupun ada beberapa tindak pidana yang tidak harus mendapat persetujuan korban yaitu tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, tindak pidana yang kerugiannya dibawah upah minimum provinsi, seperti yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pelaksanaan diversi dapat dihadiri oleh Anak Berkonflik dengan Hukum dan orang tuanya, Korban/keluarga korban, Penyidik apabila diversi di tingkat penyidikan, Jaksa apabila diversi di tingkat penuntutan, Hakim apabila diversi di tingkat pengadilan, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, dan pihak-pihak terkait apabila memungkinkan seperti pihak masyarakat, sekolah, BNN, dan lainnya. Apabila musyawarah diversi terjadi suatu kesepakatan antara pihak anak (Pelaku), korban, dan pihak terkait, maka Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas bertugas melaksanakan pengawasan dan pembimbingan setelah turunnya  penetapan hakim dari pengadilan setempat. Apabila terjadi kegagalan diversi ditingkat penyidikan  maka perkara anak akan dilimpahkan penyelesaiannya ketingkat penuntutan dan wajib diupayakan diversi kembali.  Apabila diversi  kembali gagal, perkara dilimpahkan ke pengadilan dan tetap dilakukan upaya diversi kembali, kemudian apabila diversi tetap gagal maka perkara akan diselesaikan melalui proses  persidangan.

Dalam hal diversi berhasil terjadi suatu kesepakatan bersama, namun anak tidak melaksanakan kesepakatan yang dimaksud maka diversi dianggap gagal sehingga Pembimbing Kemasyarakatan (PK) bertugas melaporkan kepada pihak atasan fasilitator diversi yang kemudian perkara akan dilanjut melalui proses persidangan formal.

Demikian sekilas pembahasan terkait diversi sebagai salah satu langkah restorative justice yaitu penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku atau keluarga atau korban atau keluarga dari pihak tertentu untuk duduk bersama mencari penyelesaian yang adil dan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Dengan adanya diversi tentunya dapat menjadi kabar baik dan dapat juga diistilahkan diversi sebagai angin segar bagi masa depan Anak Berkonflik dengan Hukum. Adanya diversi memberikan satu kesempatan terhadap anak untuk memperbaiki diri dan merubah diri supaya menjadi sosok anak yang lebih baik lagi, tidak mengulangi perbuatan yang melanggar hukum lagi, dan dapat meraih apa yang dicita-citakan mereka.

Beri komentar :
Share Yuk !