Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Merupakan Alternatif Terakhir Pemidanaan Sebagai Amanat dari Undang-Undang Sistem Peradilan Anak (SPPA)

 Oleh : Marsiti, S,H
 PK Muda Bapas Purwokerto

Kita sadari bahwa anak adalah aset bangsa yang tak ternilai harganya, anak adalah masa depan bangsa sebagai generasi penerus bangsa, namun sayangnya di era globalisasi ini dewasa ini semakin banyaknya kemajuan teknologi membawa pengaruh terhadap perkembangan mental anak dan perilaku anak baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.

Semakin meningkatnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dalam hal ini pemerintah tidak tinggal diam sehingga dikeluarkanlah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penyelesaian perkara anak dapat melalui Diversi dengan ketentuan bahwa untuk perkara anak dengan ancaman pidana dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain:

A.Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian.
B. Penyerahan Kembali kepada orang tua atau wali.
C. Keikutsertaan dalam Pendidikan atau pelatihan di lembaga Pendidikan atau LPKS paling lama 3 ( tiga ) bulan; atau
D.Pelayanan masyarakatmasyarakat. Kemudian untuk perkara anak dengan ancaman pidana di atas 7 (tujuh) tahun hanya dapat diselesaikan melalui proses sidang pengadilan Pidana pokok bagi anak terdiri atas :

  1. Pidana pokok a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat;
    • Pembinaan di luar Lembaga
    • Pelayanan masyarakat, atau
    • Pengawasan
      c. Pelatihan kerja;
      d.Pembinaan dalam Lembaga; dan
      e. Penjara
      ( 2 ) Pidana tambahan terdiri atas:
      Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
      Pemenuhan kewajiban adat
      ( 3 ) apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja
      ( 4 ) Pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak
      ( 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk data tata cara pelaksanaan pidana sebagimana dimaksud pada ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), dan ayat ( 3 ) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pemidanaan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dapat dilaksanakan dengan dasar azas bahwa perampasan kemerdekaan dan pemenjaraan sebagai alternatif terakhir dengan kata lain Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan alternatif terakhir pemidanaan, karena memenjarakan anak sama artinya menghapus hak anak untuk mendapatakan kehidupan yang layak dan berpengaruh terhadap perkembangan psikologi anak, namun tentunya dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah diatur dalam undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).Dalam perkembangannya di masyarakat, pemahaman mengenai proses penyelesaian ABH (Anak Berkonflik dengan Hukum) sangat beragam.

Ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa anak tidak boleh dipenjara, ada juga sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa anak tetap harus dipenjara sebagai akibat dari perbuatannya tanpa memperhatikan dampak negatife dari pemenjaraan. Mereka berpandangan setiap perkara anak sanksinya harus dipenjara sebagai akibat dari perbuatannya. Disamping itu antara aparat penegak hukum sendiri juga belum satu pemahaman mengenai pelaksanaan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk itu sangat diperlukan adanya sosialisasi terhadap para aparat penegak hukum dan juga masyarakat terkait Undang Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sehingga amanat dari undang-undang tersebut dapat tersampaikan dengan jelas.

Dijelaskan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengenai batasan anak yang dapat di proses hukum yaitu usia 12 s/d 18 tahun, selanjutnya juga dijelaskan batasan anak yang berkonflik dengan hukum yang dapat di tahan sesuai dalam pasal 32 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yaitu “Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orangtua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.”

Hal tersebut menunjukan bahwa tidak semua anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan penahaman, karena yang dapat dilakukan penahan adalah anak yang telah berumur 14 (empat belas) tahun dan dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Dalam proses persidangan anak berkonflik dengan hokum, hakim wajib memperhatikan hasil rekomendasi Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan setempat.

Hakim menjadikan Litmas sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan perkara anak berkonflik dengan hukum karena dalam Litmas itu sendiri memuat mengenai latar belakang sosial dan ekonomi, sebab-sebab anak melakukan tindak pidana, kondisi keluarga, dan tanggapan berbagai pihak.

Adapun hasil Litmas itu sendiri dibacakan dipersidangkan setelah pembacaan dakwaan, sesuai dengan pasal 57 ayat ( 1 ), yaitu “ Setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang berkonflik dengan hukum tanpa kehadiran anak, kecuali Hakim berpendapat lain.”

Dalam hal ini Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sangat jelas menerangkan kedudukan PK (Pembimbing Kemasyarakatan) dalam proses persidangan sehingga PK mempunyai peranan yang sangat penting.

Dalam proses persidangan sendiri. Dalam hal ini PK menempatkan diri pada posisi netral semata-semata hanya mengemban amanat dari isi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dimana putusan pidana penjara ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah alternatif terakhir dalam proses pemidanaan. Sesuai amanat dari Undang-Undang tersebut yaitu bahwa sebisa mungkin hakim hanya memberikan putusan pidana penjara apabila hal tersebut satu-satunya jalan supaya seorang anak yang bermasalah dengan hukum dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Disisi lain langkah tersebut dapat memberikan rasa keadilan bagi korban akibat tindak pidana yang telah dilakukan anak dengan harapan anak berkonflik dengan hukum dapat menyadari kesalahannya, menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar hukum lagi.

Namun demikian alternatife terakhir yang dilakukan hakim tidak mutlak menimbulkan kerugian bagi anak dengan harapan apabila anak di tempatkan dalam LPKA, anak berkonflik hukum tersebut tetap dapat melanjutkan pendidikannya melalui program kejar paket dan juga mendapatkan pelatihan keterampilan sebagai modal usaha kedepannya apabila nanti kembali ke masyarakat.

Jadi pada dasarnya Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sebagai alternatife terakhir proses pemidanaan juga memberikan manfaat bagi kepentingan anak dimasa depannya.
Terimakasih.

Beri komentar :
Share Yuk !