Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Mewujudkan Keadilan Restoratif

Mahasin S.H
Pembimbing Kemasyarakatan Muda
Balai Pemasyarakatan Kelas II Nusakambangan

Anak merupakan tumpuan sekaligus harapan dari semua orang tua. Anak merupakan satu-satunya penerus bangsa yang mempunyai tanggung jawab besar demi tercapainya cita-cita bangsa. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menjelaskan bahwa “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Selanjutnya Pasal 1 angka 3 Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Pasal 64 UU SPPA menentukan bahwa tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat PK) Bapas.

Pasal 1 angka 13 UU SPPA memberikan pengertian bahwa PK adalah Pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. Tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 65 UU SPPA, yaitu:

a.   Membuat laporan Penelitian Kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan;

b.   Membuat laporan Penelitian Kemasyarakatan untuk kepentingan Penyidikan, Penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam Lembaga Penempatan Anak Sementara (selanjutnya disingkat LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (selanjutnya disingkat LPKA);

c.   Menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;

d.   Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan

e.  Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Sistem peradilan pidana bagi anak tentunya memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak dan masyarakat. Secara internasional sebagaimana ditegaskan dalam peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rules, bahwa tujuan peradilan pidana anak yaitu memajukan kesejahteraan anak dengan memperhatikan prinsip proporsionalitas. Tujuan memajukan kesejahteraan anak merupakan fokus utama, dengan cara menghindari penggunaan sanksi pidana yang semata-mata bersifat menghukum. Sedangkan tujuan pada prinsip proporsional, adalah untuk mengurangi penggunaan sanksi-sanksi dengan memperhatikan pada pertimbangan keadaan-keadaan pribadi anak yang melakukan tindak pidana (Setya Wahyudi, 2011:2).

Dalam penyelesaian suatu kasus menurut konsep restorative justice, peran dan keterlibatan anggota masyarakat sangat berguna dan penting untuk membantu memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Penyelesaian dengan sistem restorative justice diharapkan agar semua pihak yang merasa dirugikan akan terpulihkan kembali dan adanya penghargaan dan penghormatan terhadap korban dari suatu tindak pidana. Penghormatan yang diberikan kepada korban dengan mewajibkan pihak pelaku melakukan pemulihan kembali atas akibat tindak pidana yang telah dilakukannya.

Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan pada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian korban.

Restorative justice menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan. Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Perbaikan tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan merupakan bagian penting dari konsep restorative justice.

Bentuk dari Restorative justice yaitu Diversi adalah suatu proses pengalihan dari proses pidana formal ke informal sebagai alternatif terbaik penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak di masa yang akan datang. Diversi merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu bahwa “penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir” .(*)

Beri komentar :
Share Yuk !