Pemerintah Diminta Membuat Tim Khusus Atasi Kelangkaan Minyak Goreng

Diperlukan Pendekatan Hukum dan Administratif

Oleh : Nanang Sugiri SH

PURWOKERTO – Masyarakat Indonesia tengah menghadapi langkanya minyak goreng di pasaran. Kejadian langkanya minyak goreng sudah berlangsung cukup lama sejak awal tahun 2022 hingga kini. Imbas dari langkanya minyak goreng, harga melonjak. Masyarakat kelas bawah, UMKM dan pedagang kecil menyuarakan kesulitannya.

Pemerintah melalui Menteri Perdagangan merespons dengan mengeluarkan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 yang menetapkan harga minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.

 Munculnya peraturan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) belum cukup efektif mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng di pasaran.

 Ombudsman RI menemukan tiga penyebab minyak goreng bisa langka di pasaran berdasar laporan dari 34 provinsi. Pertama, adanya aksi penimbunan stok minyak goreng.  Kedua adanya perilaku pengalihan barang dari pasar modern ke pasar tradisional dan terakhir munculnya panic buying dari masyarakat.

 Melihat fenomena minyak goreng langka di pasaran, bukan sesuatu yang mustahil jika hal yang sama terjadi pada komoditas lain. Terlebih menjelang Ramadhan, biasanya ada kenaikan harga di beberapa komoditas. Saat ini yang tengah merangkak adalah harga kedelai dan juga gula pasir.

Kondisi langkanya komoditas pokok di pasaran tentu paling memukul masyarakat kelas bawah. Kondisi pandemi membuat semua sektor sedang bergerak bangkit. Belum sepenuhnya bangkit. Kenaikan harga bahan pokok tentu akan menambah beban masyarakat kelas bawah.

Jika kita kaji:

–              Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

–              Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

–              Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Peran pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) menjadi  sangat krusial dalam upaya menanggulangan kelangkaan minyak goreng bagi masyarakat.

Benang merah yang kami temukan sudah cukup jelas yaitu terdapat  permainan pelaku usaha dibidang minyak goreng dengan melakukan manipulasi supplai (penawaran) dan demand (permintaan) sehingga terjadi kelangkaan yang berakibat melonjaknya harga minyak goreng.

Logis untuk mengatakan bahwa pelaku usaha dalam bidang minyak goreng yang paling bertanggung jawab atas kelangkaan minyak goreng, pasalnya pelaku usaha dibidang minyak goreng termasuk dalam struktur pasar oligopoli dimana hanya segelintir orang yang terdapat didalamnya sehingga rawan terjadi kartel dan monopoli.

Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum yang dapat dikolaborasikan sehingga terbagi dalam unsur penegak hukum atau penyidik Polri, KPPU, ASN Kementerian dapat melakukan langkah-langkah kongkrit dengan berpedoman pada aturan hukum sebagai mana diatur dan dimaksud dalam:

–              Pasal 53 UU No. 18 Tahun 2012 : “Pelaku usaha pangan dilarang menimbun atau menyimpan pangan melebihi batas aturan yang ditetapkan pemerintah”

–              Pasal 29 ayat (1) UU No.7 Tahun 2014 : “Pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”

–              Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 : “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).” 

–              Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 : “Pasal 107 UU 7/2014 menyebutkan, “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”

–              Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Dari aturan-aturan yang relevan dengan permasalahan kelangkaan minyak goreng, sudah cukup jelas bahwa pendekatan hukum yang simultan untuk menjerat para mafia diindustri minyak goreng tersebut adalah pendekatan pidana. Namun Disamping itu jerat hukum lain adalah dengan sanksi administrative. Diperlukan pembuktian lebih lanjut hingga proses peradilan untuk menentukan jerat hukum yang paling tepat.

Dalam urgensi yang lebih diperlukan lagi pemerintah dapat membentuk satuan tugas atau tim khusus dalam pengusutan dan pemberantasan mafia minyak goreng, hal ini sejalan dan diperbolehkan oleh Undang-undang seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP : “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan.”

Artinya Pemerintah dapat membuat tim khusus untuk melakukan percepatan kelangkaan tersebut dengan membentuk penyidik yang kemungkinan terdiri dari unsur Polri, KPPU, ASN kementerian.

Pelaku usaha dalam bidang minyak goreng yang paling bertanggung jawab atas kelangkaan minyak goreng, pasalnya pelaku usaha dibidang minyak goreng termasuk dalam struktur pasar oligopoli dimana hanya segelintir orang yang terdapat didalamnya sehingga rawan terjadi kartel dan monopoli. Tidak logis juga jika disebutkan bahan baku yang terbatas dimiliki Indonesia sehingga terjadinya kelangkaan, mengingat Indonesia adalah salah satu penguasa perkebunan sawit terbesar di dunia.

Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum yang dapat dikolaborasikan sehingga terbagi dalam unsur penegak hukum atau penyidik Polri, KPPU, ASN Kementerian dapat melakukan langkah-langkah konkrit dengan berpedoman pada aturan hukum sebagai berikut :

–              Pasal 53 UU No. 18 Tahun 2012 : “Pelaku usaha pangan dilarang menimbun atau menyimpan pangan melebihi batas aturan yang ditetapkan pemerintah”

–              Pasal 29 ayat (1) UU No.7 Tahun 2014 : “Pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.”

–              Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 : “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).” 

–              Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 : “Pasal 107 UU 7/2014 menyebutkan, “Pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”

–              Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1999 : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Dalam urgensi yang lebih diperlukan lagi pemerintah dapat membentuk satuan tugas atau tim khusus dalam pengusutan dan pemberantasan mafia minyak goreng, hal ini sejalan dan diperbolehkan oleh Undang-undang seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHAP : “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan.” Artinya Pemerintah dapat membuat tim khusus untuk melakukan percepatan kelangkaan tersebut dengan membentuk penyidik yang kemungkinan terdiri dari unsur Polri, KPPU, ASN kementerian. (*)

Beri komentar :
Share Yuk !