Kisah Sumiarti, Penderita Thalasemia dari Desa Gunungwuled Purbalingga

Purbalingga – Dusun Bawahan, Desa Gunungwuled Kecamatan Rembang Purbalingga selama ini dikenal sebagai dusun wisata yang menyajikan pemadangan alam yang menyejukan mata dan hati pengunjungnya.

Namun di salah satu sudut dusun yang berada di ujung timur Purbalingga dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara ini ada satu rumah warga yang kondisinya menyayat hati.

Saat tim sedekah sepatu layak pakai berkunjung ke tempat tersebut untuk membagikan donasi sepatu yang tekumpul, mereka menemukan fakta baru. Tak hanya kondisi rumah yang seadaanya, namun kondisi keluarga tersebut cukup memprihatinkan.

“Awalnya kami kesini untuk membagi sepatu dan menyerahkan handphone titipan donatur. Dari informasi yang kami dapat, ada anak penderita thalasemia di dusun ini (Bawahan, red) yang memiliki semangat tinggi untuk tetap sekolah meski sedang sakit. Ia membutuhkan handphone untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang saat ini dilakukan di rumah secara online selama masa pandemi, ” ungkap Yuspita Palupi, inisiator Sedekah Sepatu Layak Pakai.

Tiba di lokasi penyaluran sedekah sepatu, tim disambut perempuan paruh baya yang sedang menjemur kasur kapuk di halaman rumahnya.

Sepetak rumah yang terbuat dari papan kalsiboard ini dihuni oleh 6 orang, bapak dan ibu serta empat orang anak mereka.

Tak ada barang mewah di dalam rumah tersebut, hanya ada satu buah tv yang digunakan oleh mereka untuk mencari hiburan.

Tak hanya kondisi rumah yang jauh dari sederhana, kondisi 3 dari 4 orang anak keluarga tersebut cukup mengiris hati. Merek menderita penyakit thalasemia, yang diklaim tak bisa disembuhkan. Bertahun-tahun mereka bertahan hidup dengan meminum obat dan menjalani transfusi darah.

“Saya tahu kena penyakit ini pas masih sekolah smp kelas 2 sekitar umur 12 tahun, dulu sering sakit-sakitan tapi di obati ga sembuh-sembuh, kalau sakit badan pasti lemas ngga bisa ngapa-ngapain terus akhirnya ke rumah sakit di chek ternyata kena thalasemia.

Kalau adik yang nomor 2 ketauan pas umur 14 tahun, sedangkan yang bungsu yang bernama Eva diketahui mengidap thalasemia saat berumur 6 tahun,” ungkap Sumiarti (26), salah satu penderita Thalasemia.

Setiap harinya, Sumiarti hanya bisa mengerjakan pekerjaan di rumah saja, kondisi tubuh yang sering lemas membuatnya tak bisa melakukan pekerjaan berat. Menjadi buruh bulu mata rumahan (plasma) satu-satunya pilihan yang bisa dia lakoni. Meski hasilnya tak seberapa.

Dalam seminggu ia hanya bisa mendapat bayaran tiga puluh ribu rupiah. Sumiarti mau tak mau menjalaninya. Karena ia harus bisa berdamai dengan kondisinya yang bergantung pada transfusi darah rutin setiap bulannya.

Sempat Dikira Idap Penyakit Menular dan Hamil

“dulu saya dijauhi teman-teman, mereka takut akan tertular dengan penyakit saya, apalagi kalau pas perut saya membuncit karena limfa membesar, mesti ada yang bilang saya sedang hamil, dan itu membuat saya malu. Terus ketambah lagi sekarang stok darah berkurang, paling dapat darah satu kantong, kalau pas kesana ga ada kami gantian yang paling sehat yang menunggu dapat darahnya,” imbuh Sumiarti dengan suara parau.

Kondisi dusun yang jauh dari kota membuat mereka cukup kesulitan untuk memperoleh sarana kesehatan. Untuk mencari sinyal yang cukup stabil saja, mereka harus keluar rumah, atau disawah yang terbuka.

Setiap bulannya mereka harus mengeluarkan anggaran transport anak-anak ke rumah sakit, dengan penghasilan yang tidak menentu tentu menjadi beban tersendiri bagi mereka.

“untuk transfusi darah Alhmdulillah gratis, tapi untuk transport kesana masih berat karena harus menanggung tiga orang, sedangkan hasil kami tidak seberapa. Kalau ada yang ngontrak jadi buruh tani paling sehari dibayar 40 ribu, itu pun belum tentu ada, kalau ngga ya kami bertani menanam pakis di dekat kebun Sudirman, dulu si pernah beberapa kali diantar Baznas tapi kadang bisa kadang ngga, sekarang ada corona malah ngga bisa,” ungkap Giseroseni (47) ibu dari para penderita thalassemia.(io)

Beri komentar :
Share Yuk !