Dinasti Politik Pada Pilkada 2020: Apa Yang Salah?

Pilkada 2020 yang diadakan secara serentak di beberapa daerah pada tanggal 9 Desember silam menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Banyak sorotan yang hadir dari pilkada ini, salah satunya adalah proses pemungutan suara yang dirasa begitu memaksa untuk dilakukan di tengah-tengah pandemi Covid-19.

Ada pula isu seputar makin maraknya kasus politik dinasti pada pilkada 2020 yang dalam realitanya memang benar terjadi. Lantas, apakah ada yang salah dengan dinasti politik?

Dinasti politik adalah hal yang sesuatu wajar dan lumrah terjadi hampir di seluruh dunia. Tak hanya terjadi di dunia politik saja, hal ini juga terjadi di bidang dan profesi lain seperti kesehatan dan pendidikan misalnya. Pada lingkungan masyarakat sendiri banyak kita jumpai keluarga dokter dan juga keluarga guru yang secara turun-temurun anggota keluarganya terjun dalam bidang dan profesi yang sama.

Lantas apa yang salah? Sebenarnya tidak ada yang salah dari adanya politik dinasti ini karena memang pada dasarnya kita sebagai manusia memiliki hak untuk terjun dan turut serta dalam dunia politik, sekalipun itu adalah keluarga dari sang pengampu kekuasaan seperti Presiden, Gubernur, Bupati, dan lain sebagainya.

Hak ini juga diatur dan dilindungi dalam pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan asil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Tetapi, menilik beberapa kasus politik dinasti yang terjadi di Indonesia, dalam realitanya memang dipenuhi oleh berbagai masalah, terutama seputar kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebut saja dinasti politik Kutai Kartanegara yang melibatkan Rita Widyasari saat menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara mengikuti jejak sang ayah, Mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hassan Rais yang sama-sama tersandung kasus korupsi.

Lalu dinasti politik di Kabupaten Klaten yang sudah eksis hampir 20 tahun lamanya. Adapun pada tahun 2016, Bupati Klaten Sri Hartini terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK atas dugaan jual beli jabatan. Selain di Kutai dan Klaten, adapula dinasti politik di Cimahi yang melibatkan pasangan suami istri, dinasti politik di Bangkalan, Madura dan dinasti politik di Banten.

Dari semua kasus tersebut, banyak di antaranya yang berkutat pada masalah yang sama, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dapat disimpulkan pula bahwa dinasti politik ini dalam realitanya memang sangatlah rentan terhadap problematika KKN tadi dan hal ini membuat masyarakat menjadi semakin was-was dan kurang percaya terhadap para pemimpin politik.

Pada pilkada 2020 sendiri, anak dan menantu dari Presiden Joko Widodo, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution sama-sama ikut terjun dalam pagelaran pilkada dan berhasil menang di daerah yang mereka calonkan, yaitu di Kota Solo sebagai Walikota Solo dan di Kota Medan sebagai Walikota Medan.

Lalu ada juga putri dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah dan keponakan dari Menhan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang juga turut serta dan bersaing dalam pilkada di Tangerang Selatan.

Meningkatnya kasus politik dinasti pada periode ini ketimbang periode sebelumnya menghadirkan berbagai pertanyaan dan spekulasi di pikiran masyarakat Indonesia. Politik dinasti memang tidak salah, tetapi jelas merusak dan memperburuk tatanan demokrasi itu sendiri.

Anggapan dan asumsi bahwa kemungkinan warga negara biasa untuk menjadi pemimpin politik semakin kecil dan terbatas mulai menyeruak di masyarakat. Belum lagi trauma masyarakat terhadap sejarah buruk dan masalah seputar KKN yang terus menyelimuti dinasti politik di Indonesia.

Lantas, bagaimanakah nasib demokrasi Indonesia ke depannya?

Jawabannya adalah tergantung. Tergantung pada para pemimpin politik dan kita sebagai warga negara. Pemimpin politik yang terpilih diharapkan dapat menjalankan kewajibannya dengan sebagaimana mestinya. Adapun kita sebagai warga negara juga harus ikut berperan aktif untuk memperjuangkan demokrasi juga keadilan dan turut serta dalam mengawasi jalannya pesta demokrasi di Indonesia.

Haidhar F. Wardoyo
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, FPSB, Universitas Islam Indonesia

Beri komentar :
Share Yuk !