Cerita Petugas Pemakaman Covid 19, Jatuh ke Makam hingga Pulang Kaki Berdarah darah

BANJARNEGARA- Akhir akhir ini kita ‘akrab’ dengan raungan sirine kendaraan ambulans sebagai penanda kendaraan emergency melintas. Kita juga akrab menjadi penyaksi seringnya kendaraan itu masuk dan keluar areal pemakaman.

Petugas di dalamnya menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, dari ujung kaki, hingga ujung rambut. Di Kota Dawet Ayu Banjarnegara, tepatnya Rumah Sakit Islam (RSI) Banjarnegara

yang berada di Kecamatan Bawang, ada tim khusus yang menangani jenazah covid 19. Mulai dari mensucikan, mengkafani, memasukkan ke dalam peti jenazah, membawa ke makam, hingga memakamkan serta prosesi mendoakan jenazah.

Mereka adalah Tim Detasmen Tutup Bumi 19 (Dentum 19) RSI Banjarnegara. Ditemui usai melakukan pemulasaraan dan pemakaman jenazah Senin (12/7/2021), Gunadi salah satu anggota tim Dentum 19 menceritakan, Dentum 19, terbentuk sejak awal awal covid 19 2020 lalu, tim yang biasa menangani jenazah biasa, kemudian diberi bekal khusus tata cara pemulasaraan jenazah covid 19 sesuai protokol kesehatan, yang disesuaikan dengan aturan pemerintah khususnya Kementrian Agama.

Awalnya tim ini memiliki anggota sebanyak 15 orang, namun karena berbagai faktor, tim ini kini menyusut hanya tiga orang tim inti, dibantu beberapa rekan dari satuan pengamanan, dan cleaning

service setempat. “Beberapa anggota lama ada yang kena covid, menjadi mudah lelah, banyak istirahat, padahal jenazah meninggal karena covid 19 ini semakin banyak jumlahnya, pemakamannya pun tak kenal waktu,” kata Gunadi sosok tinggi besar yang ramah ini.

Gunadi yang di dampingi Eko Pranoto menceritakan, dirinya dan timnya jika saat merawat jenazah tidak terlalu banyak permasalahan berarti, hanya saja sering sekali keluarga pasien yang minta di dahulukan prosesnya.

“Di proses merawat jenazah di rumah sakit tidak terlalu banyak masalah, sesuai protokol kesehatan. Paling keluarga pasien semuanya minta di dahulukan. Kami kerepotan, karena setelah selesai di rumah sakit kita harus mengantar dan juga menguburkan jenazah. Jadi kami tidak ada prioritas, namun harus sesuai urutan dan antrian,” kata Eko Pranoto.

Wajar saja demikian, karena mereka sehari bisa memulasara hingga 8 jenazah per hari. Dengan jarak tempuh dan lokasi makam yang berbeda beda jaraknya. Sudah terbiasa dibentang oleh jarak, misalnya di ujung utara Banjarnegara dan selatan, demikian ujung barat Susukan, maupun ujung Kalibening.

Tak pelak mereka bekerja hingga subuh, jadi bekerja berangkat pagi pulang pagi, dengan lelah yang sangat luar biasa. “Saya pernah menghitung 27 jam saya bekerja, sangat kami nikmati prosesnya, tanpa mengeluh sesikitpun,” timpal Eko.

Sementara mengenai pengalaman menarik, selama ini dirinya dan beberapa rekan sudah terbiasa saat melakukan tugasnya jatuh ke liang lahat. “Saya pernah saat proses pemakaman kondisi malam hari, gelap minim penerangan agak lelah, tak sengaja jatuh ke liang makam yang disiapkan. Teman yang lain juga beberapa seperti itu,” kata Gunadi.

Pengalaman lainnya, minimnya penerangan menuju dan di dalam makam membuat mereka sering tersandung penanda makam atau nisan. Meski sudah menggunakan sepatu boot setinggi hampir lutut sebagai pelindung, namun sepulang pemakaman, kaki kaki mereka lecet dan berdarah darah.

“Ga sadar tau tau perih, kaki berdarah darah sampai kantor. Kondisi makam gelap, dulu belum banyak bekal lampu penerangan, tangan memegang peti jenazah, otomatis kita tidak bisa jalan cepat. Kadang kaki sering tersandung karena makam di Banjarnegara tidak ada yang tertata rapih,” kata Gunadi.

Meski kaki berdarah, keringat selalu membasahi hazmat, sama sekali tak menyurutkan langkahnya untuk membantu sesama. Meski sebagai garda terakhir penanganan covid 19 semangatpengabdian tidak pernah kendor. (Bersambung-nugroho)

Beri komentar :
Share Yuk !