Men-DEDAH LEGACY PESANTREN

Resensi Buku “Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara

Oleh : Muhammad Arief Albani

Pesantren (pe-Santri-an), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat murid-murid (santri) mempelajari ilmu dan segala hal yang menyertainya. Pada perkembangannya, dengan semakin banyaknya santri yang hadir dan memilih untuk tetap bersama panutannya (kyai/ulama), maka dibangunlah kamar-kamar tempat menginap (asrama/pondok). Tempat-tempat berupa kamar santri itulah yang kemudian memunculkan istilah yang hingga sekarang digunakan, yakni Pondok Pesantren atau Asrama Santri yang mengadaptasi istilah Pashraman (ashram) dalam pendidikan agama Hindu-Buddha.

Hal tersebut sejalan dengan konsep Ki Hajar Dewantara saat mendirikan Taman Siswa, yang menurut beliau ; “Sekolah itu harus pula mendjadi rumahnya guru. Itulah tempat tinggal jang pasti; rumah itu diperuntuki nama guru, atau lebih baik dikatakan orang menjebut pondoknja itu namanja. Dari dekat dan djauh datanglah murid kepadanja; bukan dia jang pergi ke murid. Kita berkata: ia bukan ‘sumur lumaku tinimba’ (sumber bedjalan, tempat umum mengambil air). Seluruh suasana paguron itu diliputi semangat pribadinja.” (Ki Hajar Dewantara: 1962)
Definisi lainnya yang menjelaskan arti Pesantren, adalah proses pe-nyantri-an yang memiliki dua arti ; yaitu tempat santri atau proses menjadi santri. (Soebahar: 2013)Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2019 juga mencantumkan istilah Dayah, Meunasah, Zawiyah, dan Surau yang kesemuanya menerangkan pengertian Pesantren.

Men-dedah Pesantren Dari Perspektif Sejarah

Berbicara tentang Pesantren, tentu tidak bisa meninggalkan pembahasan panjang tentang sejarah. Pembahasan sejarah terkait Pesantren sebagai sebuah “maha karya” indigenous ulama Nusantara, harus juga dimulai dari sejarah masuknya Islam serta perkembangan proses penyebarannya di Nusantara.


Tidak banyak kesimpulan yang secara detail dapat memastikan kapan kiranya awal dimulainya model pendidikan terpadu di Indonesia yang dahulu disebut Nusantara. Lini masa panjang Nusantara hingga resmi menggunakan nama Indonesia, tentunya juga meninggalkan kisah-kisah perjalanan dunia pendidikan di dalamnya. Meski tidak banyak literatur-literatur kuno masa lampau yang menceritakan secara terperinci dan eksplisit mengenai perjalanan dunia pendidikan di Nusantara. Namun demikian, dari adanya peninggalan literatur masa lampau tersebut, menunjukkan bahwa pendahulu-pendahulu bangsa Indonesia [Nusantara] merupakan orang-orang yang terpelajar karena bisa membuat catatan-catatan yang menjadi peninggalan berharga bagi generasi masa kini.

Setidaknya, model pendidikan di Nusantara pada masa lampau terlihat mulai diinisiasi oleh para pemuka agama yang menyampaikan pendidikan agama sesuai metode “dakwah”nya masing-masing. (Albani; 2021)
Dalam buku Akar Sejarah Etika Pesantren karya Aguk Irawan ini, sejarah masuknya Islam serta hadirnya institusi pendidikan yang disebut Pesantren saa ini di-dedah dengan sangat baik. Beberapa versi sejarah dihadirkan oleh Kang Aguk Irawan dengan sangat terang benderang, sehingga siapapun yang membaca buku ini seakan dapat menapaki sejarah masa lalu dan mendapati detail-detail jejak sejarahnya dengan jelas.

Kang Aguk Irawan juga menghadirkan sejarah Nusantara yang sangat panjang dan rigit dalam buku ini. Hal tersebut menegaskan bahwa pembahasan utama buku ini harus benar-benar dapat dipahami secara instan. Pembaca seakan diberikan suplemen dalam memahami pembahasan utama buku ini. Pada bagian awal dihadirkan sebuah pelurusan pemahaman mengenai sinkretisme dan inkulturasi. Hal tersebut menjadi penting untuk dipahami pembaca agar benar-benar dapat memahami Pesantren beserta dinamika yang ada di dalamnya dengan benar. Terlebih, Pesantren merupakan institusi pendidikan agama yang asli Nusantara dan rentan terhadap pemahaman sinkretisme dari hasil inkulturasi nya dengan budaya-agama yang telah lebih dulu berlaku di Nusantara.


Etika Pesantren yang berlaku hingga kini dan menjadi salahsatu Sui Generis Pesantren, khususnya Pesantren Salafiyah merupakan hasil inkulturasi budaya-agama Hindu-Buddha yang merupakan keyakinan bangsa Nusantara sejak lama berlaku di masyarakat sebelum masuknya Islam di Nusantara. Kang Aguk Irawan menghadirkan sebuah fragmen dari Kitab Silakrama yang menyinggung tradisi membungkuk, mematung dan mencium tangan guru. Disitu diterangkan ; 2a. Sang-)-ndriyang dening panon ta sadoha nira kita tumuruna. Yadyan parêkaning Sang Guru yan tan katon denta, wênang kita tumuruna, mapan sametaning Sang Hyang Dharma, den waspadan denta ilingilingi, makadi yen wus pwa kita upadeúa, den tuhu ning tuhu denta aguron guron, den lutatenlotange lampah ta ya gigisin, danut siku patiti paramàrta, haywà met sanak ta sandêkan, makadi ya lalawan mari walu walwaning Sang Guru, dahat pàpa patakane ika. Manih anggêlênganing úarira, sakrodha ning úarira. Yan Sang Guru apamakúiha, wênang idêpên den Sang Sêwaka Dharma. Yen ta- (3a -n) Apabila oleh indra penglihatanmu tampak beliau dari kejauhan, engkau sudah harus merunduk dan membungkuk. Jika menghadap sang guru, ciumlah tangannya terlebih dahulu. Oleh sebab menerima ajaran Sang Hyang Dharma, engkau harus saksama dan berhati-hati,  seperti halnya apabila engkau baru selesai menerima ajaran, agar kepercayaanmu pada guru senantiasa engkau pertahankan pada saat proses belajar. Pegang kuatlah segala tingkah lakumu, ikuti tata cara dan aturan pertapaan, janganlah perkenankan sanak saudaramu sekalian melawan semua yang diperintahkan oleh guru. Sangatlah besar dosanya itu. Semakin menambah kekotoran pada diri yang diliputi keangkaramurkaan. Jika sang guru memperkenankan, patut untuk dipertimbangkan oleh si murid.)
Dari fragmen yang dihadirkan penulis diatas, terlihat jelas bahwa akar etika Pesantren yang berlaku di Pesantren (khususnya pesantren salafiyah) hingga kini merupakan hasil akulturasi budaya masyarakat Hindu di Nusantara. Pada fragmen lainnya juga disebutkan adanya tradisi Pesantren lainnya seperti Sowan, Boyongan, Tirakatan, Slametan hingga tata aturan Berbusana.
Selain men-dedah Pesantren melalui catatan-catatan sejarah dan manuscript Hindu-Buddha yang sangat terang membawa pemahaman kita pada pengetahuan akar sejarah etika Pesantren, Kang Aguk Irawan juga menghadirkan contoh nyata praktek etika Pesantren secara langsung dengan menyampaikan hasil observasinya pada Pesantren Al-Falah di Mojo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH Acmad Djazuli Utsman. Di Pesantren Al-Falah ini masih sangat menjaga etika Pesantren yang merupakan Legacy Pesantren masa lampau dari hasil akulturasi serta inkulturasi budaya Jawa.

Sebagai penutup, Kang Aguk Irawan kembali memberi penegasan bahwa praktik etika Pesantren yang dijalankan Pesantren-Pesantre Salafiyah hingga saat ini telah melalui perjalanan panjang yang bersumber dari ke-peradaban pra-Islam di Nusantara. Hal tersebut menjadi “warisan” berharga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini. Karena negeri ini turut dibangun oleh para Kyai dan Santri Pesantren dengan etika Pesantren yang luhur. Dalam artikel saya bertajuk “Sui Generis, Madrasah dan Ruhul Ma’had Pesantren”, saya menyampaikan harapan agar Pesantren tetap menjadi Pesantren yang memegang teguh Etika Pesantren “warisan” penyebar agama Islam di Nusantara yang telah berhasil dengan sangat piawai memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam tradisi peradaban budaya agama awal Nusantara sebelum masuknya mereka (penyebar Islam) di Nusantara.

Secara umum, buku karya Kang Aguk Irawan ini sangat penting untuk di-“kulik” lebih dalam. Buku ini merupakan “harta karun” yang sangat berharga. Saya sedikit mengkritik model penyusunan buku ini yang terlihat seperti benar-benar sebuah laporan hasil penelitian. Jika disajikan dalam alur sebuah novel sejarah seperti buku “Penakluk Badai” karya Kang Aguk Irawan sebelumnya, mungkin akan lebih santai dalam membacanya tanpa kehilangan esensi yang harus tersampaikan.


Sekali lagi, buku ini dalah “harta karun” bagi pemerhati serta pegiat Pesantren di Indonesia. Pesantren tetap harus menjadi Pesantren dengan merawat “warisan” Etika Pesantren sampai kapanpun. Karena Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran yang ideal yang dibutuhkan generasi mendatang yang terindikasi mengalami “degradasi moral”. “Mulai zaman dahulu hingga sekarang kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang disebut pondok pesantren. Kalau zaman dulu dinamakan priwatan atau asrama. Sifat pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumah kiai guru (Ki Hajar), yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat rumah pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendiri selalu berhubungan dengan pendidikan,” (Ki Hajar Dewantara).

JUDUL : AKAR SEJARAH ETIKA PESANTREN
Dari Era Sriwijaya Sampai Pesantren Tebuireng dan Ploso
PENULIS : AGUK IRAWAN MN
PENERBIT : Pustaka IIMaN
ISBN : 978-602-8648-29-5
DIMENSI : 14 x 21 cm; Kode: XA-23
Cetakan I, Desember 2018

PERESENSI : MUHAMMAD ARIEF ALBANI

Beri komentar :
Share Yuk !