Resiliensi Pengusaha Batik Dalam Penerapan TQM (Total Quality Manajemen) Pada Industri Batik di Masa Pagebluk

Oleh : Tikha Faitul Hidayah
Program Study Management FEB
Universitas Jendral Soedirman

Pekalongan merupakan kota lahirnya corak batik yang diakui Unesco yang sudah mencapai usia dua dekade lebih semenjak 9 oktober 2009 lalu, yangmana warisan budaya batik ini juga sebagai tonggak penggerak ekonomi local di Pekalongan. Kini pelaku industri batik mencapai babak baru tatanan manajerial industri dalam menyikapi pagebluk (Pandemi Covid-19).

Munculnya beberapa klaster baru di pekalongan dan menempatkan pekalongan sebagai pringkat ke-3 penyebaran covid-19 di Jawa Tengah, mengakibatkan banyak industri skala UMKM kembali memutar otak mencari celah grand desain manajemen agar tetap bertahan dan tidak mati perlahan-lahan.

Kepala Bidang Koperasi dan UKM Dindagkop Pekalongan Tjandrawati mengatakan “Ribuan pelaku UMKM tersebut, bergerak di bidang usaha batik, kuliner, Canting, craft, tenun, makanan ringan dan snack, dan lainnya”, hal ini menerangkan bahwa sebagian besar pelaku usaha mayoritas pekalongan yang terdampak pagebluk adalah usaha yang bergerak di bidang batik dan tekstil.

Padahal kita tahu bahwa batik dan tekstil adalah kesatuan penuh sebagai wujud nyata menjunjung ikon utama kota Pekalongan sebagai kota batik. Nasi belum menjadi bubur, nasib baik belum terkubur, kajian-kajian ilmu manajemen mulai mencari bagaimana grand desain penciptaan usaha yang tahan banting serta mampu reaktif dalam segala kondisi. Penerapan TQM (Total Quality Manajemen) Pada Industri Batik Pekalongan mulai digencarkan sebagai salah satu wujud resiliesi masyarakat dalam membangun bisnis yang bertahan lama.

Penerapan TQM secara SMART (Spesifik, Measurable, Reasonable, dan Timely) adalah hal yang tepat untuk dilakukan dalam bisnis di masa pagebluk seperti sekarang ini. Daripada memprediksi berapa lama atau kapan berakhirnya periodesasi pagebluk ini, lebih baik menerapkan konsep TQM SMART sebagai penguatan bisnis serta survive resiliency menghadapi tantangan sektor ekonomi menuju SDG’s 2045.

Akademisi perguruan tinggi jurusan manajemen sebagai jurusan nomor 1 yang populer di masyarakat harus mampu menciptakan koping stressor, guna menciptakan resiliensi masyarakat yang sedang terdampak pagebluk khususnya di bidang usaha batik Pekalongan.

Lazarus (1993, dalam Tugade dan Fredricson, 2004) mendefinisikan resiliensi sebagai koping efektif dan adaptasi positif terhadap kesulitan dan tekanan. Sementara menurut Richardson (2002), resiliensi adalah proses koping terhadap stressor, kesulitan, perubahan, maupun tantangan yang dipengaruhi oleh faktor protektif.

Pada masa pagebluk permasalahan tendensi bisnis yang notabenenya di bantu secara finansial menggunakan beberapa bantuan seperti BPUM (Bantuan Produktif Usaha Mikro), Kartu Prakerja, dan kemudahan akses keuangan ataupun pembiayaan yang terdapat dalam PP Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, semua itu dirasa belum cukup.

Ternyata hal ini dikarenakan selain terus memburuknya situasi bisnis yang berdampak pada psikis pengusaha batik, juga karena pengusaha dalam mengelola keuangan tidak sepenuhnya digunakan untuk mengembangkan bisnisnya secara manajemen yang baik untuk mencapai TQM yang optimal.

Namun para pengusaha batik Pekalongan justru menggunakan teknik menejerial privatisasi, yaitu dimana kebutuhan privat hidup yang meliputi kebutuhan sekunder dan tersier di dahulukan bahkan mendominasi daripada untuk kebutuhan pengembangan tata kelola manajemen bisnis secara TQM yang baik.

Mahasiswa sebagai agent of change mulai ikut serta melakukan berbagai riset untuk menemukan formulasi tata kelola manajerial yang sesuai, salah satunya, beberapa peneliti mengatakan“Analisis di lapangan yang saya lakukan secara wawancara, menemukan pola kecenderungan para pengusaha batik Pekalongan dalam menerapkan manajemennya masih menjumpai titik kebingungan dalam penentuan skala prioritas pengambilan keputusan terhadap usaha saat situasi pagebluk seperti ini (Covid-19), contohnya seperti mereka bingung harus mengurangi jumlah gaji karyawan secara merata ataukah pengurangan jumlah karyawan, kemudian contoh lainnya mengurangi jumlah produksi batik ataukah menurunkan kualitas bahan baku pembuatan batik”.

Sebenarnya dalam pengambilan keputusan atas skala prioritas para pengusaha batik, harusnya dipertimbangkan secara fundamental (Jangka Panjang) dan secara riset TQM untuk menggali detail per-departemtalisasi yang ada. Maka nantinya tidak terjadi pengambilan keputusan secara sepihak yang merugikan secara universal unit usaha.

Apabila pengambilan keputusan manajerial telah dilakukan secara TQM dan mengedepankan mix formula ide, dimana pengkajian yang dilakukan benar-benar diolah secara detail dengan pertimbangan departemntalisasi yang ada, maka akan tercipta manajemen usaha yang berkualitas unggul dan tetap produktif serta reaktif dalam segala situasi distrupsi.

Integrasi proses TQM tidak hanya memusatkan satu kendali pada seorang pimpinan organisasi atau juragan batik nya saja, untuk pengurusan utamanya adalah manajerialnya.

Akan tetapi dalam penerapannya melibatkan segala unit eksternal maupun internal usaha. Beberapa indikator yang harus diperhatikan secara detail dalam proses TQM ini meliputi : Customer focussed, total employee involvement, process-centered, integrated system, strategy and systematic approach, continual improvement, fact-based decision making, communications. Delapan unsur ini merupakan pokok kajian sebelum TQM sebuah usaha dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik dari segi manajemennya.

Harapannya “Ketika resiliensi para pelaku usaha batik di kota Pekalongan mulai kuat kembali, maka bukan hal yang tidak mungkin untuk para pelaku usaha ini melakukan 8 aspek TQM secara totalitas dengan menimbang kondisi maka prediksi tingkat ketercapaian peningkatan usaha setelah masa pagebluk sekitar 70%”.

Permasalahan pengusaha batik sangat kompleks di masa pagebluk dan bukan hanya finansial namun segmentasi jangkauan pasar juga terhambat, dengan begitu reset pasar pun kadang di lakukan sebagai langkah tata ulang usaha batik. Penempatan cara TQM dalam ranah reset pasar atau memulai pembenahan bisnis dari awal pun dapat dilakukan, artinya bukan hanya bisnis yang hanya terdampak kecil saja yang dapat menerapkan TQM di masa pagebluk. (*)

Beri komentar :
Share Yuk !