Apakah Keuntungan Itu?

Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat ( INKUR Federation)

Dalam pengertian konvensional, keuntungan perusahaan atau nilai tambah (added value)dari aktifitas produksi dan penjualan barang/jasa selama ini selalu diklaim sebagai milik para investor alias pemilik modal. Para pekerja yang menghasilkan barang / jasa itu tidak memiliki hak apapun atas keuntungan perusahaan.

Ketentuan tersebut berlaku dari sejak dulu kala. Setua sistem perusahaan itu ada dan terus langgeng hingga saat ini.

Awalnya, sistem tersebut tentu dimulai atas model penguasaan harta atau properti. Seperti kepemilikan purba laki laki atas perempuan, lalu kepemilikan atas kapling tanah, dan kemudian meluas ke sistem kepemilikan perusahaan.

Berdasarkan dasar pemilikan modal perusahaan adalah pemegang hak mutlak dan berkuasa atas perusahaan maka investor atau penanam modal menjadi penentu seluruh keputusan perusahaan. Termasuk dalam keputusan pembagian keuntungan dan penentuan nasib para pekerja di perusahaan.

Sejak Parlemen Inggris menandatangani Joint Stock Act atau undang undang perdagangan saham tahun 1844, maka komponen keuntungan perusahaan bertambah. Tak hanya berasal dari hasil penjualan produk /jasa tapi berasal dari gain atau selisih harga atas penjualan saham perusahaan. Dimana di era digital ekonomi saat ini, gain itu bisa didapat dengan lakukan aktifitas pembelian dam penjualan saham di Bursa Saham.

Dalam sistem penjualan saham di Bursa Saham tersebut, tetap saja para pekerja tak memiliki hak atas gain atau selisih harga saham yang dijual tersebut. Mereka juga tetap tak memiliki hak untuk mengambil keputusan untuk menjual atau membeli saham perusahaan. Hak tersebut tetap melekat mutlak di tangan investor atau penanam modal.

Pekerja, mereka yang menghasilkan keuntungan perusahaan atas penjualan barang / jasa dan atau gain dari hasil penjualan saham hanya jadi obyek semata. Mereka posisinya sebagai obyek pengambilan keputusan pemilik modal. Nasib mereka bahkan tak dipedulikan ketika saham perusahaan beralih ke tangan orang lain.

Para pekerja bukan hanya bernasib sial menjadi semata obyek keputusan segelintir pemilik modal, tapi dimana mana mereka menjadi korban eksploitasi dari segelintir pemilik modal tersebut. Sejarah demonstrasi para pekerja dari sejak jaman revolusi industri hingga revolusi digital saat ini tetap sama : menuntut adanya pelibatan pengambilan keputusan perusahaan dan termasuk pembagian atas keuntungan perusahaan.

Pada masa Robert Owen memimpin organisasi buruh terbesar di Manchester, Inggris tahun 1840an, para buruh menuntut adanya penurunan jam kerja dari 18 jam menjadi 8 jam. Selain itu mereka juga menuntut perbaikan gaji. Sampai saat ini isu tuntutan pekerja masih sama, menuntut kenaikan gaji dan perbaikan kondisi kerja.

Di era digital ekonomi saat ini kondisi para pekerja malahan lebih parah. Contohnya adalah para pengemudi online perusahaan aplikasi, mereka dianggap sebagai freelance, juga diminta ikut berpartisipasi modal setidaknya menggunakan sepeda motor pribadinya, dan menanggung seluruh resiko atas motor dan juga keselamatanya di jalan. Mereka dianggap sebagai mitra, tapi prakteknya adalah tetap menjadi budak modern, mereka juga hanya diperlakukan sebagai obyek penerima keputusan perusahaan. Terutama dalam penentuan tarif atau bagi hasil. Sebagai penentu kesejahteraan mereka.

Nasib para pengemudi online itu tetap sama dengan pekerja di masa revolusi industri dahulu kala, dan tapi nasibnya lebih sial lagi, jika di masa revolusi industri para pekerja itu ketika demo dan sampaikan aspirasinya dapat tanggapan langsung dari pemilik perusahaan, di era digital saat ini, mereka hanya dijawab oleh robot. Negara yang dipimpin oleh presiden yang mereka pilihpun tak mampu berbuat apapun di depan kekuatan pemilik perusahaan kapitalis. Sementara konsumen sebagai pengguna jasa mereka tak sedikitpun tunjukkan solidaritasnya karena mereka diuntungkan dengan tarif murah.

Kuasa perusahaan yang semakin hari semakin akumulatif dalam menumpuk keuntungan dan modal telah membuat mereka menjadi lebih kuasa dari kekuatan negara sekalipun. Negara menjadi subordinat alias mengabdi kepada kepentingan mereka. Termasuk ketika korporasi kapitalis itu ingin memperluas bisnisnya seperti dalam kasus Rempang, Riau. Pemerintah terlihat jelas keberpihakanya, bukan pada kepentingan rakyat banyak yang ada di Rempang tapi pada segelintir atau bahkan sebiji investor. Rakyat yang menentang dibuldoser dan dipiting piting aparat negara.

Praktek sistem demokrasi mengalami kecacatan fatal, kepentingan demos, rakyat, direduksi hanya dengan diberikan hak untuk mencoblos anggota parlemen dan eksekutif dari Presiden hingga kepala daerah, tapi tidak dalam rangka pengambilan keputusan sehari hari dan juga menyangkut hidup dan mati rakyat banyak. Soal ekonomi, oikos nomos atau urusan rumah tangga yang menurut J.J Rousseou adalah merupakan jantung dari politik negara diabaikan.

Bi-Kameral

Kondisi nasib pekerja yang buruk tersebut tentu dapat dijelaskan dalam satu aksioma yang gamblang : apa yang tak kamu miliki maka tak mungkin dapat kamu kendalikan. Apa yang tak dimiliki oleh para pekerja itu atas perusahaan itu tak mungkin dapat mereka ikut kendalikan. Aparatus negara yang biaya kampanye pemenangannya dalam Pemilu dibiayai oleh para elit oligarki, pemilik perusahaan kapitalis tentu tak akan sanggup untuk mengubah keadaan. Kecuali diadakan perubahan sosial besar besaran.

Perubahan itu adalah perlunya perombakan terhadap regulasi menyangkut perusahaan. Pekerja sebagai penghasil keuntungan dari perusahaan harus diberikan hak kepemilikan di perusahaan sehingga mereka dapat turut mengambil keputusan. Setidaknya setiap perusahaan itu diwajibkan untuk membagi saham kepada pekerja ( employee share ownership plan / ESOP) mereka minimal 30 persen atau syukur dalam model ESOP Demokratis dengan penyerahan saham hingga 51 persen.

Perusahaan atau korporasi itu berasal dari kata corporare, atau corpus yang dalam bahasa Indonesia artinya tubuh. Apa yang dihasilkan oleh para pekerja atas tubuh mereka itu menjadi hak mereka. Jadi mereka itu semestinya diberikan hak untuk turut mengambil keputusan di perusahaan dan tentu dalam pengambilan keputusan dalam pembagian keuntungan. Jika tidak maka sistem kapitalisme yang jamtungnya ada di korporasi itu akan terus menjadikan pekerja, rakyat, aparatus negara sebagai boneka mainan mereka selama lamanya. Perusahaan itu harus dikelola secara bi-kameral, ya dimiliki dan diputuskan pemodal dan juga pwkerja.

Suroto : Jakarta, 20 September 2023

.

Beri komentar :
Share Yuk !