Menyimak Tutur Para Leluhur Melalui Tradisi Ngabungbang Desa datar Dayeuhluhur

TRADISI NGABUNGBANG : Para tetua adat dan kasepuhan menggelar kegiatan Ngabungbang di rumah juru kunci Gunung Ketra Desa Datar Kecamatan Dayeuhluhur, Rabu (7/7) TASLIM INDRA/BANYUMAS EKSPRES

DAYEUHLUHUR-Para tetua adat Desa Datar Kecamatan Dayeuhluhur menggelar acara tradisi ngabungbang. Ini merupakan tradisi mendengarkan cerita tutur dan lagu-lagu tentang para leluhur.

Kegiatan dilaksanakan di rumah juru kunci, Gunung Ketra Kaswadi (49) pada Rabu manis mulai pukul 22.00 hingga 02.00 dini hari. Lakon Kembang Wijayakusuma dinyanyikan tiga sinden diiringi kecapi dan suling yang dimainkan oleh Emo dan Kaswadi. Sedangkan tiga sinden masing-masing Wawan Hermawan,Carwiti dan Wiarsih. Hadir pula Kepala Desa Datar, Darsah yang berperan sebagai tandak sekar.

Ngabungbang merupakan tradisi menyanyikan pupuh atau syair yang diiringi kecapi dan suling. Kemudian dilanjutkan oleh cerita tutur tentang sejarah dari nyanyian pupuh tersebut. Tentu tidka smeua orang bisa menyanyikannya. Sebab harus paham makna dari pupuh tersebut.

Menurut juru kunci Gunung Ketra Kaswadi kegiatan ini sudah dilakukan oleh para leluhur sejak dulu sebagai ajang hiburan dan edukasi kepada warga. Sehingga mereka bisa mengetahui sejarah para leluhur. Kegiatan biasanya dilaksanakan malam Jumat Kliwon atau malam Rabu Manis. “Yang dikisahkan adalah para leluhur yang disakralkan,” kata dia

Menurutnya dahulu kala saat belum ada radio dan televisi tradisi ini sebagai hiburan rakyat ketika tidak tidur di malam Jumat Kliwon.

Kelebihan di acara ngabungbang adalah cerita yang sampaikan itu lebih asli, menceritakan kejadian apa adanya beda dengan yang ditampilkan dalam pertunjukan yang memiliki lakon maupun peran yang kadang disingkat maupun diperlebar alur ceritanya.

“Kami sedang berusaha membangkitkan kembali kesenian tradisi ini dengan cerita tuturnya,supaya ke depan bisa dilanjutkan dan dijaga oleh generasi muda nantinya,” kata Kepala Desa Datar Darsah

Pegiat Budaya dan Sejarah Dayeuhluhur Ceceng Rusmana mengatakan kelebihan dari cerita di acara ngabungbang itu adalah cerita yang ditampilkan itu lebih “jujur”. Jarang sensornya.sebab menceritakan kejadian apa adanya. Beda dengan yang ditampilkan dalam pertunjukan yang memiliki keterbatasan cerita.

Dia mencontohkan cerita Kembang Wijayakusuma, cerita sejarah Dayaluhur, Pajajaran, Demak, Mataram akan berbeda dengan yang diketahui di masyarakat umum atau buku pelajaran.Karena basis ceritanya adalah kisah untuk diketahui oleh anak cucu sendiri.

Dikatakan cerita dalam tradisi ngabungbang memang eklusif dan sulit dipahami oleh orang luar kalangan tersebut.
Sebab harus memahami tentang pupuh yang jika diterjemahkan ke bahasa lain jadi tidak bisa dikidungkan atau disairkan. Di dalamnya ada guru lagu dan guru wilangan yang jelas.

Selain itu jika dibacakan begitu saja tanpa dikidungkan “aura” tidak keluar. Di dalam pupuh itu memiliki makna suasana isi cerita seperti Maskumambang itu sedih, Durma itu menantang, Mijil itu berharap dan Asmarandana memiliki ruh jatuh cinta dan lain-lain.

“Syair dalam kata-kata pupuh berisi sejarah dan doa ijab. Tidak mudah dipalsukan karena sifatnya ritual dan mengatasnamakan leluhur untuk anak cucu sendiri. Jadi tidak boleh ada kebohongan,” tandasnya(lim)

Beri komentar :
Share Yuk !