Media Jadi Katalisator Menggalang Aksi Nyata Hadapi Ancaman Perubahan Iklim

JAKARTA – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan BBC Media Action menggelar Webinar dengan tema “Menuju COP28: Krisis Iklim dan Rencana Indonesia Kurangi GRK”, Senin 4 Desember 2023.

Diskusi tersebut menghadirkan Nara sumber , Rizki Maulana (advisor Climate Change GIZ Indonesia-ASEAN), Retno Gumilang Dewi (Kepala Pusat kebijakan Keenergian ITB) , Rieke Amroe (CEO Beecomms), dengan moderator Chandra Iswinarno dari Suara. Com

Pada kesempatan itu Rike E Smru dari Beecams Indonesia, mengungkapkan
warga miskin sangat rentan terdampak perubahan iklim.

Perlu komunikasi antara pemerintah, media, mewujudkan upaya bersama menanggulangi dampak perubahan iklim.

Media tak sekedar penyampai informasi k publik, namun sebaliknya menyampaikan harapan dan  keinginan masyarakat, kaitanya untuk kepentingan kolaborasi.

Menyikapi polusi yang terjadi di jakarta beberapa waktu lalu, pemerintah menyebut polusi masih batas ambang aman. Namun justru dari sektor lain, seperti rumah sakit warga dan pegiat lingkungan justru dirasakan berbeda.

Ini perlu kolaborasi, untuk menghadapi paradoks agar segera beraksi mengatasi krisis iklim.

Rizki Maulana (advisor Climate Change GIZ Indonesia-ASEAN) mengajak, agar bersama sama mengatasi krisis dan ancaman global perubahan iklim.

“Kita tak hanya mengawasi pemerintah, tapi ikut memberikan solusi, misal hemat energi dan lainya. Aksi kita bisa berdampak jika dilakukan secara akumulasi, ” ungkapnya.

Retno Gumilang Dewi (Kepala Pusat kebijakan Keenergian ITB, mengungkapkan, distribusi informasi sangat penting agar kita ber satu padu menghadapi perubahan iklim.

“kita pastikan suara kita bergema lebih luas. Ini waktunya memberi dampak lebih luas, ” ungkapnya.

Selain itu, perlu membuat narasi tentang harapan untuk kita nikmati di planet kita di masa depan.

“Kuncinya kita tetap berkolaborasi dan bisa jadi katalisator perubahan. Masa depan hijau harus dimulai dari kita'” ujarnya menambahkan.

Mengutip IESR,  Arief Rosadi, Koordinator Diplomasi Iklim, Institute for Essential Services Reform (IESR) menuturkan, krisis iklim memberikan dampak yang buruk bagi seluruh dunia.

Berdasarkan laporan UNFCCC pada 2022, bahwa emisi global akan meningkat hampir 14% selama dekade ini.

Bahkan, data UNFCCC 2023 memperlihatkan kebijakan saat ini membawa dunia ke kenaikan suhu 2,8°C pada akhir abad ini. 

“Untuk itu, Indonesia perlu menyuarakan aksi nyata dalam hal krisis iklim serta diperlukan upaya kolektif untuk mengatasi dan menangani dengan menekankan pada prinsip Common But Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC). Saat ini terdapat berbagai kesempatan bagi kaum muda untuk berpartisipasi dalam konvensi internasional, meskipun ada tantangan yang mungkin terjadi seperti proses yang tertutup dan terbatasnya dukungan finansial, regulasi maupun logistik. Padahal, mengutip data Yale Program on Climate Change Communication, sebagian besar orang Indonesia merasa berkewajiban secara moral untuk melindungi lingkungan,” ujar Arief. 

Berdasarkan agenda, kata Arief, delegasi Republik Indonesia (RI) nantinya akan memberi perhatian lebih terhadap tiga krisis global. Ketiga krisis tersebut dikenal sebagai triple planetary crisis, yang terdiri dari perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiga persoalan tersebut menjadi tantangan global dan perlu kolaborasi dan kerjasama bilateral dan multilateral untuk mempertahankan masa depan Bumi yang tetap layak huni. 

Beri komentar :
Share Yuk !