Negara Harus Menggandeng Organisasi Keagamaan Untuk Menjawab Tantangan Kebangsaan

Ma’ruf Cahyono Hadir di Madrasah Amil Zakat NU Care-LAZISNU


 
Kehadiran Sekretaris Jenderal (Sesjen) MPR RI Dr. Ma’ruf Cahyono SH., MH., di acara ‘Madrasah Akmil Zakat NU Care – LAZISNU’ Kabupaten Banyumas, disambut dengan antusias oleh ratusan peserta. Acara yang digelar di salah satu hotel di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, 23 Januari 2022, itu bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) di sana sangat istimewa.
 
Keistimewaan acara itu bisa dilihat dari hadirnya Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Banyumas Drs. KH. Mughni Labib M.SI; Dewan Pengawas Syariah PCNU Care-LAZISNU Kabupaten Banyumas DR. KH Ansori M.Ag; dan Ketua  Ketua PCNU Care-LAZISNU Kabupaten Banyumas Prof Dr. KH. Ridwan M.Ag.  
 
Acara yang digelar pada hari Minggu itu menurut penyelenggara dilakukan sebagai rangkaian untuk menyambut Hari Ulang Tahun Ke-96 NU. Dengan kegiatan itu diharapkan akan meningkatkan pola kerja dan sinergitas tim Relawan NU Care-LAZISNU untuk melayani jamiyah dan umat di semua tingkatan. Peserta yang hadir dalam madrasah itu dari beragam unsur yang ada di NU, seperti relawan, simpatisan NU Care-LAZISNU.
 
Kehadiran Ma’ruf Cahyono dalam kegiatan tersebut untuk memberikan pembekalan kepada peserta madrasah. “Saya merasa berbahagia bisa bersilaturahmi dengan para peserta madrasah”, ujarnya. Lebih lanjut alumni Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu merasa bangga mendapat undangan untuk hadir dalam madrasah dari organisasi ummat Islam terbesar di Indonesia. “Bangga bisa bersama dengan Kaum Nahdliyin Kabupaten Banyumas”, tambahnya.
 
Dalam pembekalan, Nasionalisme Relawan NU Care-LAZISNU merupakan tema yang diberikan kepada peserta madrasah. Saat mengawali pemaparan, pria yang saat ini menjadi Ketua Keluarga Alumni Fakultas Hukum (KAFH) Unsoed itu mengatakan, Indonesia adalah negeri yang sangat luas. Bentangan wilayahnya dari Sabang yang berada di Aceh hingga Merauke yang ada di Papua, serta Talaud yang ada di Sulawesi Utara hingga Rote yang ada di Nusa Tenggara Timur.


 
Di dalam wilayah yang luas, Indonesia kaya dengan sumber daya alam serta memiliki jumlah penduduk yang melimpah. “Inilah yang membuat Indonesia luar biasa”, ujarnya. Lebih membahagiakan lagi menurut pria yang juga menjadi Pengurus Pusar Keluarga Alumni Unsoed itu adalah, di negeri ini hidup nilai-nilai keindonesiaan. Nilai-nilai keindonesiaan itu menurutnya digali oleh para pendiri bangsa. “Pancasila merupakan nilai-nilai keindonesiaan kita”, tuturnya.
 
Bila melihat Sila I Pancasila, menurut pria yang masuk dalam 100 tokoh berpengaruh di Jawa Tengah itu, menunjukan bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa ini memang sudah terjadi sejak ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Indonesia ada. Hal demikian digali oleh para pendiri bangsa dan diucapkan oleh Soekarno saat Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Di dalam sidang, Soekarno mengatakan, hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”, dan hendaknya Negara Indonesia ialah satu negara yang bertuhan!
 
Ma’ruf Cahyono menegaskan sebagai negara yang bertuhan hal demikian dikuatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. “Mari kita lihat dalam Pasal 29 ayat (1) UUD yang mengatakan Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Meski demikian dikatakan Indonesia bukan negara agama (teokrasi) serta bukan negara sekuler namun negara Berketuhanan yang memungkinkan negara untuk mengakomodir ajaran-ajaran agama dalam kebijakannya. Dalam model negara ini, negara tidak mengutamakan satu agama tertentu melainkan berusaha bersikap adil  dengan mengakomodir ajaran agama-agama yang ada di Indonesia (pan-religious value).
 
Dari sinilah pria yang saat ini menempuh Progam Pendidikan Doktor Kajian Strategik Global Universitas Indonesia itu, dengan mengutip pendapat ilmuwan politik Amerika Serikat, Jeremy Menchik, bahwa nasionalisme Indonesia berbeda dengan konsep nasionalisme ala negara-negara Barat yang memisahkan persoalan kebangsaan dengan persoalan religiusitas. Nasionalisme Indonesia adalah Nasionalisme Berketuhanan yaitu nasionalisme “yang diikat oleh kesamaan paham serta ajaran-ajaran agama, yang kemudian dimobilisasi negara dengan bekerjasama dengan organisasi-organisasi agama yang ada di masyarakat.
 
Dalam kesempatan itu Ma’ruf Cahyono menyebut ada dua karakter nasionalisme berketuhanan. Disebutkan, pertama, nasionalisme berketuhanan memandang bahwa memiliki kepercayaan kepada Tuhan merupakan kewajiban bagi setiap warga negara (civic virtue). Kedua, bagi individu dalam negara Berketuhanan, memiliki kepercayaan kepada Tuhan dianggap memberi cara pandang yang lebih cerah dalam melihat dunia, ketimbang dengan orang yang tak bertuhan atau menganut paham sekuler. Orang yang bertuhan dianggap lebih bijak, penyayang, dermawan, serta toleran terhadap perbedaan.
 
Sebagai negara yang berketuhanan, menurut pria yang mengajar magister hukum di berbagai perguruan tinggi itu menyebut ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tantangan itu adalah intoleransi dan radikalisme. Mengacu pada data Infid, 2017, 26,2% Generasi muda cenderung hanya mau berteman dengan orang-orang yang seagama. Berdasar data LSI, 2018, 52% Orang tidak setuju adanya pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungan tempat tinggalnya. Dan berdasarkan data Setara 2016, 11% Pelajar SMA di Jakarta dan Bandung menganggap khilafah sebagai sistem pemerintahan terbaik bagi Indonesia.
 
Lebih lanjut diungkapkan data, CSIS, 2017, 9,5% Generasi milenial setuju jika Pancasila diganti dengan ideologi lain. Data Komunitas Pancasila Muda, 2020, 19,5% Generasi milenial merasa tidak yakin Pancasila penting atau relevan dalam kehidupan mereka. Dan Setara, 2015, 8,5%, Pelajar SMA di Jakarta dan Bandung setuju jika ideologi Pancasila diganti dengan ideologi yang merepresentasikan agama tertentu.
 
Masalah tersebut menurut Ma’ruf Cahyono tidak muncul tiba-tiba, “ada akar masalahnya”, ungkapnya. Disebutkan akar masalahnya itu, pertama munculnya  kelompok-kelompok radikal berskala internasional, yang berusaha menyebarkan pandangan intolerannya mengenai agama ke berbagai negara termasuk Indonesia. Pandangan kelompok ini bertentangan dengan ajaran-ajaran agama (terutama Islam) di Indonesia yang bersifat toleran. Kedua, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Saat ini sekitar 27 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan dengan 9,1 juta orang merupakan penganggur (Data BPS 2021). “Kondisi ini berpotensi membuat mereka rentan dipengaruhi oleh pandangan-pandangan radikal dan intoleran”, ujarnya.
 
Selain dua hal di atas, menurut pria kelahiran Banyumas itu, meski masyarakat Indonesia telah terbiasa hidup dalam keberagaman antar umat beragama selama berabad-abad, namun perdamaian tersebut bisa hancur jika agama digunakan untuk kepentingan politik sempit yang bersifat memecah-belah masyarakat berdasarkan agamanya.
 
Majunya perkembangan teknologi pun disebut oleh Ma’ruf Cahyono juga bisa menjadi pemicu permasalahan di atas. “Dalam beberapa tahun terakhir penggunaan social-media semakin meningkat di Indonesia, hal ini diikuti dengan masuknya jutaan informasi dari luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan etika ketimuran seperti liberalisme, sekularisme, serta radikalisme agama”, paparnya.
 
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, Ma’ruf Cahyono mempunyai kiat yang bisa digunakan untuk menghadapi dan mengatasi tantangan yang ada. Kiat itu adalah pertama, Penguatan Peran Pesantren. Pesantren dan ulama harus menjadi pihak utama penangkal intoleransi dan radikalisme, sebab melalui institusi inilah ajaran Islam yang toleran dan nasionalis dapat disebarkan ke generasi muda. Apalagi perumusan nilai-nilai Pancasila yang mengandung konsep negara berketuhanan juga tidak lepas dari peran para ulama di masa lalu yang memimpin pondok pesantren.
 
Kedua, Kerjasama dengan Organisasi Keagamaan. Negara harus menggandeng peran organisasi keagamaan dalam menangkal intoleransi, sebab beberapa organisasi keagamaan tradisional di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama terbukti telah bertahun-tahun mempromosikan nilai-nilai agama yang toleran dan cinta damai.
 
Ketiga, Memperbanyak Program Kesejahteraan. Saat ini pemerintah telah mengadakan berbagai program kesejahteraan seperti memperluas skala BPJS serta mendistribusikan 12,7 juta hectare tanah kepada rakyat. Tetapi program kesejahteraan tetap perlu diperluas, mengingat sekitar 27 juta penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, serta sekitar 68% tanah di Indonesia juga masih dikuasai oleh 1% penduduk terkaya. Kondisi kemiskinan dan ketimpangan ini rentan menimbulkan kecemburuan sosial yang dikemudian hari dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai bahan menyebarkan intoleransi dan radikalisme.(*)

Beri komentar :
Share Yuk !