Hubungan Obesitas Abdominal dengan Dislipidemia

Gambar, Ilustrasi

Obesitas merupakan salah satu penyakit krnois yang dapat menyebabkan munculnya penyakit-penyakit lain, terutama penyakit degeneratif. Obesitas sudah menjadi permasalahan umum yang sering terjadi bahkan penyebarannya luas hingga ke seluruh dunia dan kejadian obesitas selalu meningkat setiap tahunnya. Salah satu penyakit degenerative yang disebabkan oleh obesitas adalah displidemia yang juga kerap terjadi pada remaja.

Perkembangan masalah obesitas di Indonesia tercatat secara jelas dalam data riskesdas 2007 dengan prevalensi obesitas yang terjadi di negara Indonesia adalah 13,9% pada usia >18 tahun dan semakin bertambah pada tahun 2013 yaitu 19,7%. Obesitas yang terjadi pada remaja cenderung sulit untuk ditangani dengan obat-obatan karena mereka masih dalam tahap pertumbuhan. Namun, apabila obesitas dibiarkan secara terus-menerus justru dapat menimbulkan masalah baru yaitu dislipidemia.

Terjadinya perubahan LDL dan HDL pada remaja dapat menimbulkan masalah dislipidemia lebih dini atau pada usia yang lebih muda. Perubahan yang terjadi pada LDL dan HDL adalah kadar LDL yang sangat tinggi dengan kadar HDL yang sangat rendah, atau kadar LDL normal, tetapi kadar HDLnya sangat rendah.

Untuk menilai hubungan antara obesitas dengan dislipidemia adalah dengan mengukur LDL dan HDL. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa terjdi perubahan LDL dan HDL pada responden akibat obesitas yang dialami. Setelah dilakukan pemeriksaan profil lipid pada responden, dapat diketahui bahwa kadar HDL pada responden obesitas sentral jauh lebih rendah dibandingkan dengan responden yang memiliki lingkar perut normal.

Berdasarkan hasil uji Chi-squer dan Fisher diperoleh nilai yang signifikan bahwa obesitas sentral memiliki hubungan yang erat dengan kadar HDL dan rasio LDL/HDL sehingga dapat menyebabkan terjadinya dislipidemia yang dapat berakhir pada penyakit-penyakit degeneratif. Kondisi obesitas sentral dapat mempengaruhi kadar LDL dan HDL. Dimana kadar LDL menjadi lebih tinggi dan kadar HDL menjadi lebih rendah yang pada kejadian ini secara langsung dapat memicu dislipidemia.

Obesitas juga umum terjadi pada individu yang memiliki penyakit ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialis, atau metode pembersihan darah buatan pada tahap akhir gagal ginjal kronis. Berdasarkan salah satu data penelitian, diketahui bahwa prevalensi dislipidemia adalah 85,4%.

Perubahan antara keseimbangan, produksi, dan pembuangan trigliserida adalah karakteristikk utama diantara gangguan metabolisme lipid pada pasien gangguan ginjal kronis, yang terjadi dengan perkembangan hilangnya fungsi ginjal. Tingginya prevalensi obesitas perut dan dislipidemia, tidak berhubungan satu sama lain antar variabelnya. Prevalensi yang tinggi pada dislipidemia di populasi, dikarenakan nilai HDL-C yang tidak memadai, akan tetapi hal ini tidak berhubungan dengan distribusi lemak tubuh pada perut.

Akumulasi lemak yang berlebih dan deposisi lipid ektopik, seperti adipositas visceral, mendorong pengembangan profil aterogenik, protombitik, dan proinflamasi serta dianggap sebagai factor risiko diabetes tipe 2 dan kardiovaskular. Seseorang yang memiki jaringan adiposa visceral dan ektopik tinggi ditandai denggan kadar kolesterol HDL yang lebih rendah, dengan partikel-partikel yang lebih kecil dan padat. Oleh karena itu, orang dengan obesitas perut dapat melakukan intervensi gaya hidup.

Peningkatan aktivitas fisik dan peningkatan kualitas diet, dapat mengurangi lemak perut dan dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Orang dengan sindrom metabolic dapat ditandai dengan peningkatan lingkar pinggang, adipositas several, kadar kolesterol HDL rendah, dan kelalaian pada struktur dan fungsi HDL.

Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup 1 tahun yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat aktivitas fisik dan meningkatkan kualitas diet berdampak baik pada beberapa factor risiko kadiometabolik pada pria dengan obesitas perut dan dislipidemia. Intervensi gaya hidup memiliki dampak positif pada kuantitas HDL.

Jadi, penerapan intervensi gaya hidup 1 tahun dapatberdampak positif terhadap kuantitas dan kualitas HDL pada seseorang yang mengalami obsitas perut dengan dislipidemia. Selanjutnya, peningkatan kadar kolesterol HDL atau Apo A-1 setelah terapi modifikasi gaya hidup dapat menyebabkan peningkatan fungsi partikel HDL. Hilangnya AT intra-abdominal dan lemak ektopik melalui makan sehat dan aktivitas fisik teratur, kemungkinan menjadi cara paling fisiologis untuk meningkatkan kadar kolesterol HDL.

Referensi :
Arief, R. Q., Amiruddin, R., Russeng, S., Kesumasari, C., Jafar, N., & Salamah, U. (2020). The Relationship between Obesity and Dyslipidemia in Adolescents. EXECUTIVE EDITOR, 11(01), 1461.
Boyer, M., Mitchell, P. L., Poirier, P., Alméras, N., Tremblay, A., Bergeron, J., … & Arsenault, B. J. (2018). Impact of a one-year lifestyle modification program on cholesterol efflux capacities in men with abdominal obesity and dyslipidemia. American Journal of Physiology-Endocrinology and Metabolism, 315(4), E460-E468.
HC, M. (2018). The Association Between Abdominal Obesity and Dyslipidemia in Patients Undergoing Hemodialysis Program. American Journal of Chronic Diseases, 1.

Oleh ; Nur Fitri Hidayati, Fitri Amalliyah, Yasmin Latifah, Ratih Farrasanti

Mahasiswa UIN Walisongo

Beri komentar :
Share Yuk !