KHM Muqri, Penebar Dakwah Islam dari Sirau

Sirau adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas. Berbicara tentang kampung santri yang satu ini, kita tak bisa lepas membahas sosok KHM Muqri (1900-1963). Beliau adalah perintis Pesantren Sirau, yang kemudian dikenal sebagai Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin. Lalu, siapah sosok KHM Muqri itu?

Bayi mungil Muhammad Muqri lahir pada 12 Juli 1900. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, satu-satunya anak laki-laki dan semua saudaranya perempuan. Sang ayah (HM Nur) berasal dari Prembun Kebumen, yang hijrah dan menetap di Sirau. Beliau adalah salah satu anggota inti Laskar Pangeran Diponegoro. Lantaran hal tersebut, konon makam HM Nur dirahasiakan alias tak diketahui publik.

Muqri kecil dikirim oleh sang ayah ke pesantren untuk memperdalam ilmu agama Islam. Pertama-tama yang dituju adalah Pesantren Dresmo (Surabaya), kemudian Pesantren Leler asuhan KH Zuhdi, dan Pesantren Manggungan (Bogangin).

Sekembali dari pesantren, pemuda Muqri mulai aktif dalam kegiatan dakwah di masyarakat. Maka, pada tahun 1915 sang ayah berinisiasi membangun masjid di desa setempat. Masjid Al-Huda, demikian nama yang dipakai saat ini, adalah masjid tertua kedua di Sirau.

Sekira tahun 1925, Kiai Muqri muda merintis sebuah pondok pesantren. Di kemudian hari pesantren ini dikenal sebagai Pesantren Roudlotut Tholibin Sirau.

“Santri pertama Abah sebanyak lima orang. Dua orang dari Kertosono dan tiga orang dari Bruno Kutoarjo, ditambah para keponakan yang mayoritas laki-laki,” kata KHA Mukhossis Nur bin KHM Muqri.

Selain ngaji bersama santri, menurut KHA Mukhossis, para keponakan ayahnya waktu itu gemar bermain burung merpati dan sepakbola.

“Karena mayoritas laki-laki, sampai-sampai keluarga kami punya persatuan sepakbola sendiri bernama Sinar Famili,” kenang KHA Mukhossis.

Dalam perjalanannya, persatuan sepakbola tersebut sempat berganti nama “Sinar 17” dan terakhir menjadi “Putra Sirau”.

“Saya sendiri suka berbagai jenis olahraga, kecuali ping-pong. Kalau dulu tak dikirim ke pesantren, mungkin saya menekuni olahraga berkuda,” tutur pria kelahiran 1942 itu.

Hal tersebut tidaklah berlebihan. Pasalnya, selain mengasuh pesantren, ternyata sang ayah (KHM Muqri) memelihara hingga 60-an ekor kuda untuk jual beli.

“Kalau jual beli kuda dengan stok hingga 60-an ekor kuda, saya sendiri tidak njamani. Tapia ada tiga ekor kuda milik Abah yang saya masih ingat betul, satu di antara dibeli dari daerah Kedungbanteng,” kenang KHA Mukhossis.

Masjid Al-Huda di komplek Pesantren Roudlotut Tholibin Sirau dalam proses renovasi. (Oktober 2020)

Pesantren dan Perjuangan

Sebelum KHM Muqri mengembangkan dakwah dan mendirikan pesantren, Desa Sirau dikenal daerah yang angker dan wingit. Masyarakatnya masih kental dengan praktik klenik dan kejawen. Perlahan tapi pasti, meski terjal dan penuh liku, perjalanan dakwah KHM Muqri pada akhirnya mendapat respon dan dukungan masyarakat.

Di masa-masa perjuangan melawan penjajah, Pesantren Sirau tercatat menjadi salah satu pusat penggemblengan pemuda Ansor. Bahkan, suatu ketika Belanda mengepung rumah kediaman KHM Muqri. Anehnya, beliau bisa lolos keluar rumah dengan berjalan biasa tanpa terlihat oleh Pasukan Belanda.

Pasca proklamasi kemerdekaan RI, kehidupan pesantren kembali bergeliat ke arah kondisi normal. Selain model ngaji sorogan dan bandongan ala pesantren, pendidikan formal pun bertumbuh di Pesantren Sirau. Mula pertama, pada tahun 1952, pesantren merintis Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan nama Fathul Ulum. Berselang sepuluh tahun (1962), berdirilah pendidikan formal setingkat SLTP dengan nama Madrasah Mu’allimin Pertama (MPP) dan pada 1965 berdiri Madrasah Mu’allimin Atas.

Pada perkembangan kemudian, MMP dan MMA berubah menjadi PGA 6 tahun. Seiring kebijakan pemerintah yang melikuidasi PGA 6 tahun, Pesantren Roudlotut Tholibin pun melakukan adaptasi dan penataan terhadap pendidikan formal yang ada. Kini di lingkungan Pesantren Sirau tersedia lembaga pendidikan formal dari TK hingga SLTA, dengan tetap mempertahankan tradisi khas pesantren.

Alamarhum KHM Muqri berpulang ke haribaan Allah pada 07 Februari 1963. Dari pernikahannya dengan Hj Aisyah, beliau dikaruniai 18 orang anak. Adapun yang hidup hingga dewasa ada sepuluh anak, yakni: Murtofingah, Fathudin, Mughofir, Muttabik, Syahid, Muhibah, Hasyimah, Hasyim, Mukhossis, dan Siti Sangidah.

Semasa hidupnya, KHM Muqri dikenal sebagai sosok pendiam namun sangat ngemong dan memasyarakat. Satu pesan almarhum adalah: janganlah kita mencari musuh, kalaupun ada musuh tak usahlah kita layani.

“Manggon nang kene, aja seneng padu lan aja seneng sulaya; menempat di sini, janganlah suka bertengkar mulut atau berkelahi,” demikian pesan Kiai Muqri, seperti dituturkan kembali oleh KHA Mukhossis.

Purwokerto, 26 Oktober 2020


Akhmad Saefudin SS ME, Penulis Buku 17 Ulama Banyumas

Beri komentar :
Share Yuk !