Sandhiasma, Merangsang Literasi Siswa

Oleh :  Esti Setio Asih, S.Pd 
Guru Bahasa Jawa di SMK N 2 Purbalingga.

Pramudya Ananta Toer mengatakan “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Dengan menulis, apa yang mungkin tidak tersampaikan secara lisan dikarenakan berbagai hal, pada akhirnya akan sampai kepada sebuah hati yang dituju. Itu karena sesuatu yang berasal dari hati akan sampai ke hati pula. Akan tetapi bagi sebagian orang, mengungkapkan isi hati dan pikiran dalam bentuk tulisan merupakan sebuah aktivitas yang “berat”. Terasa sangat sulit ketika hendak mengawali sebuah tulisan, tetapi kesulitan saat akan mengakhiri tulisan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan ketrampilan berbahasa terutama keterampilan membaca.

Menurut Thahar (2008:11) kemampuan menulis dengan kemampuan membaca memiliki hubungan yang erat. Hal ini terjadi karena secara tidak sadar seseorang telah memperoleh banyak pengetahuan, pengalaman dan bahkan ilmu dari hasil bacaannya. Dengan demikian, semakin banyak bahan bacaan yang telah dibaca, semakin banyak pula pengetahuan serta kosa kata yang dimiliki. Tentu ini menjadi modal utama dalam kegiatan menulis. Seseorang yang sering bercengkerama dengan buku (membaca) akan lebih luwes ketika akan menuangkan ide pikiran ke dalam tulisan.

Tingkat literasi siswa saat ini masih tergolong rendah. Kegiatan membaca buku hanya disukai oleh sebagain kecil siswa perempuan. Ini menjadikan kesenjangan tersendiri utamanya dalam pelajaran bahasa. Hasil tulisan siswa perempuan dan siswa laki-laki akan terasa bedanya. Namun kegiatan yang terkadang memang membutuhkan kontemplasi ini dapat dijadikan pecut untuk merangsang literasi siswa. Mulai dengan sesuatu yang memang ada di dunia remaja; cinta monyet.

Bagi sebagian orang yang ingin mengungkapkan isi hati namun masih kesulitan dalam merangkai kata, dapat melakukan pemanasan dengan menulis sebuah geguritan (puisi). Menurut Widada Suwadji, geguritan yakuwe karangan kang pinathok kaya tembang nanging guru gatra, guru lagu, lan guru wilangane ora ajeg. Sedangkan menurut Subalidinata, geguritan yaiku iketaning basa kang memper syair. Menurut Poerwadarminta (1939), geguritan asale saka tembung gurit kang nduweni arti kidung utawa tembang, dene guritan maknane tembang kang awujud purwakanthi. Geguritan itu sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menyebut puisi Jawa modern yang bebas dari aturan-aturan yang ada di dalam tembang macapat atau kidung. Geguritan dalam kamus Baoesastra, berasal dari kata gurit yang artinya tulisan atau kidung. Geguritan juga mempunyai arti tembang (uran-uran) mung awujud purwakanthi (Baoesastra Jawa, 1939). Hematnya, geguritan adalah puisi berbahasa Jawa. Perhatikan contoh geguritan di bawah ini:

NIATKU
Oh, niatku mung seneng bareng sliramu
Penginku mung njaga awakmu saben wektu
Anganku terus bareng karo sliramu ngasi tua lan ngasi matiku

Kue mau akhire mung dadi rasa niatku
Rasa niat kang wis ilang, mati ing jero kalbu
Iki kabeh mergo sliramu
Sing ngaboti tresno anyarmu

Fatamorgana..? opo iki sing arane fatamorgana
Angan-angan endah sing wis kegambar ing mata
Jaman-jaman endah sing bakal dirasakne ing dunya
Akhire kabeh mau mung dadi fatamorgana
Rasane bakal nyata, nanging asline langka

Geguritan berjudul Niatku karya siswa SMK N 2 Purbalingga kelas XII tersebut merupakan sebuah geguritan yang menggunakan sandhiasma. Dalam geguritan tersebut nama pengarang disandhikan atau disembunyikan di dalam geguritan. Ungkapan isi hati tersebut dapat tersampaikan dengan ciamik ke seseorang yang dimaksud tanpa harus mencantumkan nama si pembuatnya. Ini akan menciptakan keasyikan tersendiri bagi siswa utamanya, ketika mereka tak mampu mengungkapkan isi hatinya secara lisan.

Geguritan yang berisi kegundahan hati si pembuat akan perasaannya ini menjadi karya perdananya yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya. Cinta anak SMK yang awalnya terasa indah dan menciptakan harapan-harapan akan masa depan yang sebenarnya masih teramat jauh ini, pada akhirnya harus sirna karena seseorang yang dicintai tersebut memilih seseorang yang datang menawarkan cinta yang baru. Mungkin terlalu picisan, tetapi inilah uniknya masa-masa putih abu-abu yang penuh dengan letupan-letupan perasaan yang beraneka warna.

Geguritan yang ternyata dibuat oleh seorang siswa laki-laki ini telah mematahkan argument bahwa siswa perempuan lebih mahir dalam kegiatan menulis. Ranah yang dibahas sudah tak sama lagi. Seseorang yang sebelumnya tak pernah menulis, akan mampu menuliskan isi hatinya jika sedang dibawah tekanan. Tekanan dari guru yang menuntutnya untuk mengungkapkan isi hatinya dalam sebuah geguritan. Mau tak mau siswa tersebut harus mencoba keluar dari stigma yang telah menguasai pikirannya bahwa dia tak bisa menulis. Disinilah dibutuhkan peran guru sebagai fasilitator dan motivator. Penggunaan sandhiasma dapat menjadi pilihan agar siswa memiliki alur dalam menuliskan geguritannya. Nama si pembuat geguritan harus tersematkan dalam geguritan yang ditulisnya.

Ada kalanya siswa mengalami kebuntuan dalam memilih diksi yang tepat untuk menggambarkan perasaannya yang sekaligus sesuai dengan inisial namanya. Dalam tahap ini guru dapat memberikan masukan kepada siswa agar dapat kembali ke alur yang telah diciptakannya. Proses ini mungkin terasa berat dan membingungkan. Namun ketika sebuah geguritan sudah tercipta, akan ada rasa puas dan bangga di dalam hati karena telah berhasil menaklukan tantangan dari guru.

Terlebih lagi itu adalah luapan isi hati yang awalnya tak mampu diungkapkan.  Nama yang tersembunyi dalam geguritan menjadi sebuah misteri tersendiri. Membutuhkan sedikit ketelitian untuk mencari nama tersebut dalam geguritan. Bagaimana? Apakah Anda tertarik untuk membuat sebuah sandhiasma?

Beri komentar :
Share Yuk !